Malam belum seberapa tua, mata anak
sulungku belum juga bisa dipejamkan. Beberapa buku
telah habis kubacakan hingga aku merasa semakin lelah.
"Kamu tidur donk Dila, Ibu capek nih baca buku terus,
kamunya nggak tidur-tidur," pintaku .
Ditatapnya dalam wajahku, lalu kedua tangannya yang
lembut membelai pipiku. Dan, oh Subhanallah,
kehangatan terasa merasuki tubuhku ketika tanpa
berkata-kata diciumnya kedua pipiku. Tak lama, ia
minta diantarkan pipis dan gosok gigi. Ia tertidur
kemudian, sebelumnya diucapkannya salam dan maafnya
untukku. "Maafin kakak ya Bu. Selamat tidur," ujarnya
lembut.
Kebiasaan itulah yang berlaku dikeluarga kami sebelum
tidur. Aku menghela nafas panjang sambil kuperhatikan
si sulung yang kini telah beranjak sembilan tahun. Itu
artinya telah sepuluh tahun usia pernikahan kami.
Dentang waktu didinding telah beranjak menuju tengah
malam. Setengah duabelas lewat lima ketika terdengar
dua ketukan di pintu. Itu ciri khas suamiku. Seperti
katanya barusan ditelepon, bahwa ia pulang terlambat
karena ada urusan penting yang tak bisa ditunda besok.
Suamiku terkasih sudah dimuka pintu. Cepat kubukakan
pintu setelah
sebelumnya menjawab salam. "Anak-anak sudah tidur?"
Pertanyaan itu yang terlontar setelah ia bersih-bersih
dan menghirup air hangat yang aku suguhkan. "Sudah,"
jawabku singkat.
"Kamu capek sekali kelihatannya. Dila baik-baik saja?"
Aku menggangguk. "Aku memang capek. Tapi aku bahagia
sekali, bahkan aku pingin seperti ini seterusnya."
Lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu menatapku
dengan sedikit bingung. "Akan selalu ada do'a untukmu,
karena keikhlasanmu mengurus anak-anak dan suami
tentunya. Dan aku akan minta pada Allah untuk
memberimu pahala yang banyak," hiburnya kemudian.
Aku tahu betapa ia penasaran ingin tahu apa yang
hendak aku katakan, tapi ia tak mau memaksaku untuk
bercerita. Tak sanggup aku menahan gejolak perasaan
dalam dada yang sepertinya hendak meledak. Kurangkul
erat tubuhnya. "Maafkan aku mas," bisikku dalam hati.
Pagi ini udara begitu cerah. Dila, sulungku yang
semalam tidur paling akhir menjadi anak yang lebih
dulu bangun pagi. Bahkan ia membangunkan kami untuk
sholat subuh bersama. Mandi pagipun tanpa dikomandoi
lagi. Dibantunya sang adik, Helmi, memakai celana.
Dila memang telah trampil membantuku mengurus adiknya.
Tak hanya itu, menyapu halamanpun ia lakukan. Tapi itu
dengan catatan, kalau ia sedang benar-benar ingin
melakukannya. Kalau "angot" nya datang, wah, wah, wah.
Inilah yang ingin aku ceritakan. Dila kerap marah
berlebihan tanpa sebab yang jelas, sampai membanting
benda-benda didekatnya, menggulingkan badan dilantai
dan memaki dengan kata-kata kotor.
Memang aku pernah melakukan suatu kesalahan saat aku
kesal menghadapi ulahnya. Saking tak tertahannya
kesalku, aku membanting pintu dan itu dilihatnya.
Wajar saja kalau akhirnya Dila meniru perbuatanku itu.
Penuh rasa sesal saat itu, aku berjanji untuk tidak
melakukan hal itu kembali. Kuberikan penjelasan pada
Dila bahwa aku salah dan hal itu tak boleh ia lakukan.
Entah ia mengerti atau tidak.
Hari itu Dila bangun agak siang karena kebetulan hari
Minggu, pakaiannya basah kena ompol. Padahal ia tak
biasanya begitu. Segera saja kusuruhnya mandi. Tapi
Dila menolak, dengan alasan mau minum susu. "Boleh,
tapi setelah minum susu , kakak segera mandi ya karena
baju kakak basah kena ompol" Dila menyetujui
perjanjian itu. Tapi belum lagi lima menit setelah
habis susu segelas, ia berhambur keluar karena
didengarnya teman-temannya sedang main. Mandipun urung
dikerjakan. Aku masih mentolelir. Tapi tak lama
berselang "Kak Dila. mandi dulu," aku setengah
berteriak memanggilnya karena ia sudah berada diantara
kerumunan anak yang sedang main lompat tali. "Sebentar
lagi Bu. Kakak mau lihat Nisa dulu," begitu jawabnya.
Aku masih belum bereaksi. Kutinggal ia sebentar karena
Helmi merengek minta susu. Setelah membuatkan susu
untuknya, aku keluar rumah lagi. Kali ini menghampiri
Dila. "Waktumu sudah habis, sekarang kamu mandi",
bisikku pelan ditelinganya. Dila bereaksi menamparku
keras, "Nanti dulu!" aku tersentak, mendadak emosiku
membludak. Aku balas menampar Dila hingga meninggalkan
bekas merah di pipi kanannya. Tanpa berkata-kata lagi,
kuseret tangannya sekuat tenaga. Dila terus meronta.
Kakiku digigitnya. Aku dengan balas mencubit. Layaknya
sebuah pertarungan besar kami saling memukul dan
meninggikan suara. Setibanya dikamar mandi Dila
kuguyur berulang-ulang, kugosok badanya dengan keras,
kuberi sabun dan kuguyur lagi hingga ia tampak
gelagapan. Aku benar benar kalap. Selang beberapa
menit kemudian, kukurung Dila dikamar mandi dalam
keadaan masih tidak berpakaian. Ia menggedor-gedor
pintu minta dibukakan. Berulang kali ia memaki dan
mengatakan akan mengadukan kepada ayah.
Tak berapa lama kemudian suara Dila melemah, hanya
terdengar isak tangisnya. Aku membukakan pintu dengan
mengomel. "Makanya, kalau disuruh mandi jangan
menolak, Ibu sampe capek, dari tadi kamu menolak mandi
terus. Awas ya kalau seperti ini lagi. Ibu akan kunci
kamu lebih lama lagi. Paham!", entah ia mengerti atau
tidak. Dila hanya menangis meski tidak lagi meraung.
Setelah rapih berpakaian, menyisir rambut dan makan.
Dila seolah melupakan kejadian itu. Iapun asyik
kembali main dengan teman-temannya. Peristiwa itu
tidak hanya satu dua kali terjadi. Tidak hanya pada
saya ibunya tapi juga pada ayahnya. Tapi, cara suamiku
memperlakukan Dila sangat berbeda. Barangkali memang
dasarnya aku yang tidak sabar menghadapi anak rewel.
Tiap kali itu terjadi, cara itulah yang aku lakukan
untuk mengatasinya. Bahkan mungkin ada yang lebih
keras lagi dari itu.
Tapi apa yang dilakukan Dila pada saya, Subhanallah,
Dila tak pernah menceritakan perlakuanku terhadapnya
kepada siapapun. Seolah ia pendam sendiri dan tak
ingin diketahui orang lain. Akupun tak pernah
menceritakan kepada suami, khawatir kalau ia marah.
Padahal Dila itu anak kandungku, anak yang keluar dari
rahimku sendiri. Aku kadang membencinya, tidak
memperlakukan dia layaknya aku memperlakukan Helmi
adiknya. Dila anak yang cerdas. Selalu ceria, gemar
menghibur teman-temannya dengan membacakan mereka buku
yang tersedia dirumah. Bahkan teman-temannya merasa
kehilangan ketika Dila menginap di rumah neneknya
diluar kota, yang cuma dua malam.
Belaian lembut tangan suamiku menyadarkan aku. Kulepas
pelukanku perlahan. Tak sadar air mata menyelinap
keluar membasahi pipi. "Sudahlah, malam semakin larut.
Ayo kita tidur," ajaknya lembut. Aku berusaha
menenangkan gemuruh dibatinku. Astaghfirullah, aku
beristighfar berulang kali. "Aku mau tidur dekat Dila
ya?" pintaku. Lagi-lagi kearifan suamiku membuatku
semakin merasa bersalah. Kuhampiri Dila yang tampak
pulas memeluk guling
kesayangannya. Siswi kelas tiga SD itu begitu baik
hati. Aku malu menjadi ibunya yang kerap memukul,
berkata-kata dengan suara keras dan...oh Dila maafkan
Ibu.
Disisi Dila bidadari kecilku, aku bersujud di tengah
malam. " Ya Allah, melalui Dila, Engkau didik hambamu
ini untuk menjadi ibu yang baik. Aku bermohon ampunan
kepada-Mu atas apa yang telah kulakukan pada
keluargaku, pada Dila. Beri hamba kesempatan
memperbaiki kesalahan dan ingatkan hamba untuk tidak
mengulanginya lagi. Dila, maafkan Ibu nak, kamu banyak
memberi pelajaran buat Ibu."
Sebuah renungan untuk para ibu (termasuk saya
didalamnya). Semoga kita semakin menyayangi anak-anak
dan memperlakukan mereka dengan baik. Sebagaimana
diingatkan dalam sebuah hadits Nabi SAW agar manusia
menyayangi anak-anaknya. Ketika Aqra' bin Habis At
Tamimi mengatakan bahwa ia memiliki sepuluh anak tapi
tak pernah mencium salah seorang diantara mereka,
Rasululloh SAW bersabda "barangsiapa yang tidak
menyayangi maka dia tidak disayangi" (HR. Bukhari dan
Tirmizi)
referensi : cerpen islami