Benda yang satu ini pasti ada di setiap rumah tangga, minimal satu buah. Apalagi di markas tentara, benda bernama cermin ini wajib ada agar para serdadu bisa memeriksa apakah seragam dan rambut mereka sudah rapi.
Meski becermin sudah menjadi kegiatan sehari-hari manusia sejak ribuan tahun sebelum Masehi, ternyata manusia masih kesulitan memahami bagaimana cermin bekerja. Begitulah temuan psikolog dari University of Liverpool, Inggris, Marco Bertamini, yang meneliti apa yang diyakini orang tentang cermin dan citra yang direfleksikannya. Ternyata, hampir semua orang, termasuk mahasiswa fisika dan matematika, tak memahami sifat cermin.
Bertamini dan timnya melakukan serangkaian eksperimen dengan menempelkan cermin tertutup pada dinding dan meminta beberapa sukarelawan berjalan di sisi dinding becermin itu. Kemudian dia meminta para sukarelawan memperkirakan pada titik mana pantulan bayangan mereka bisa terlihat.
Semua orang menjawab mereka yakin bisa melihat bayangannya sebelum berdiri sejajar dengan bagian ujung cermin. “Orang cenderung tidak paham bahwa lokasi pengamat amat menentukan apa yang terlihat dalam sebuah cermin,” ujarnya. “Contoh dari kejadian ini adalah apa yang kami sebut Efek Venus, yang berkaitan dengan banyak lukisan terkenal tentang Dewi Venus, yang memandang sebuah cermin kecil.”
Para sukarelawan juga diminta memperkirakan ukuran citra kepala mereka yang terpantul di permukaan cermin. Pertanyaan berikutnya adalah apa yang akan terjadi pada ukuran kepala dalam cermin jika mereka mundur beberapa langkah menjauhi cermin.
Semua peserta memberikan jawaban yang sama. Mereka menyatakan ukuran kepala mereka di cermin sama besar dengan aslinya. Sedangkan untuk pertanyaan kedua, mereka yakin semakin jauh mereka mundur, ukuran wajah yang dipantulkan cermin juga mengecil.
Kedua jawaban itu ternyata salah semua. Gambarlah garis melingkari wajah Anda di cermin, Anda akan menemukan ukuran bayangan itu tepat separuh dari ukuran wajah yang sebenarnya. Meskipun seseorang mundur sejauh mungkin dari cermin, ukuran outline wajahnya di cermin tidak akan berubah, tetap separuh dari ukuran aslinya. “Mereka menjawab berdasarkan citra yang mereka lihat di dalam cermin, bukan citra di permukaannya,” kata Bertamini, yang memulai penelitiannya sejak 2003. “Mereka tidak menyadari bahwa citra di permukaan cermin separuh dari aslinya karena cermin itu selalu berada di tengah-tengah antara pengamat dan bayangan yang tampak di dalam cermin.”
Meski begitu, aturan separuh ukuran sebenarnya ini tidak berlaku untuk bayangan orang lain. Bila Anda duduk di depan cermin dan seorang teman mendekat atau menjauh, ukuran bayangannya di cermin akan bertambah besar atau mengecil.
Bertamini mengatakan cermin membuat orang melihat obyek virtual yang ada dalam dunia maya. “Cermin adalah jendela menuju dunia itu,” ujarnya.
“Pada satu sisi kita percaya apa yang kita lihat, tapi di sisi lain inilah dunia yang kita tahu tak ada fisiknya. Inilah satu alasan mengapa sepanjang sejarah manusia kita selalu terpesona pada cermin.”
Kesederhanaan dan kompleksitas cermin yang simultan ini memang telah lama dimanfaatkan oleh sejumlah peneliti untuk mengeksplorasi persepsi dan kognisi manusia, juga bagaimana otak menginterpretasi dan bertindak terhadap gelombang informasi sensorik dari dunia luar. Mereka menggunakan cermin untuk mempelajari bagaimana otak menentukan mana citranya sendiri dan obyek lainnya, bagaimana dia memperhitungkan jarak dan pergerakan benda.
Lewat cermin itu pula para ilmuwan bisa mengetahui bagaimana otak merekonstruksi informasi dua dimensi yang dikirimkan sel reseptor retina menjadi gambar berkualitas tiga dimensi sebagaimana aslinya. “Cermin adalah sistem realitas virtual terbaik yang bisa kita buat,” kata Bertamini.
Peneliti lain menemukan bahwa lapisan dari kaca yang ditemukan pada 5.000 sebelum Masehi itu tanpa disadari juga bisa mempengaruhi perilaku manusia, terkadang efeknya sangat positif. Seseorang yang diuji dalam ruangan becermin besar terbukti bekerja lebih keras, mau menolong, dan tidak tergoda untuk menyontek bila dibandingkan dengan kelompok kontrol yang mengerjakan tes serupa di ruangan minus cermin.
Dalam studi itu, yang dipublikasikan dalam Journal of Personality and Social Psychology, C. Neil Macrae, Galen V. Bodenhausen, dan Alan B. Milne menemukan bahwa orang dalam ruangan dengan cermin secara komparatif juga akan menilai orang lainnya berdasarkan stereotip sosial, seperti jenis kelamin, ras, atau kepercayaan. “Ketika orang bisa melihat dirinya sendiri, mereka cenderung berhenti dan berpikir apa yang sedang mereka lakukan,” kata Bodenhausen.
Minggu, 14 Desember 2008
Cermin Tak Menipu, tapi Menyesatkan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
jam
Labels
Blog Archive
-
▼
2008
(30)
-
▼
Desember
(30)
- Goyang Duyu
- Diam Tanpa Kata
- Demi Cinta
- Laskar Pelangi
- Lagu Katakan Yang Sebenarnya
- Saat Terakhir
- Seindah Mentari Pagi
- Sebuah Kisah.........
- Mafka ibu "Bidadari kecilku"
- Ketika Anak ku bertanya "Bu siapa sich Marlyn Monr...
- Kisah Sepanjang Masa
- Salman Al Farisi dari kota "Amoy"
- Bila Al Qur'an bisa bicara
- Kutunggu Kalian di Surga
- Gadis Kecil Bernama Aisah
- Tubuh Sexy Bikin Sehat
- obesitas
- Kacang kedelai hitam untuk menurunkan berat badan
- Cermin Tak Menipu, tapi Menyesatkan
- Khasiat Mentimun
- Khasiat Daun Sirih
- Khasiat Buah Pisang
- Menjaga Hati
- Cinta Sejati
- Cinta sejati takkan pernah sanggup tuk diungkapkan...
- Doa Untuk Cinta
- Syair cinta untuk kekasih
- BaWaq PeRg1
- Wanita dan Kecantikan
- KADO BUAT TERSAYANG
-
▼
Desember
(30)
0 komentar:
Posting Komentar