Rhara blog's

Sabtu, 20 Desember 2008

Goyang Duyu

Acak 8x..
acak 8x...
Jika hatimu terluka karena sesuatu
jika kau mencari cara tuk obati dirimu
marilah kawanku marilah bersamaku
dengarkanlkah lagu coba menghibur dirimu
cobalah di coba
namanya goyang acak
goyang paling kocak yang bisa bikin ngakak
plis jangan ditolak
ikutan bergerak
tunggu musiknya.... tunggu musiknya ...

Ayo goyang Duyu...
Bebaskanlah hatimu
Ayo goyang Duyu...
simpan saja gengsimu
Asyik..Asyik..
Angkat jempolnya Asyik...
Asyik..Asyik..
Angkat jempolnya Asyik...

Acak 8x..
Acak 8x..

Jika hatimu terluka dan membuatmu lesu
Jika kau mencari cara tuk oabati dirimu
Marilah kawanku bangkitkan semangatmu
dengarkanlah laguku coba menghibur dirimu..
Lupakan sedihmu sakit hatimu
jangan siksa dirimu tersenyumlah...
Hapuslah sesalmu air matamu
Hiburkan hatimu goyang bersamaku ..

Ayo goyang duyu ...
Bebaskanlah hatimu ...
Ayo goyang duyu ...
Simpan saja gengsimu ..
Ayo goyang duyu ..
uU uU uU ...
Ayo goyang Duyu ...
uU uU uU ...

Yang tua dan Yang muda
Laki-laki perempuan ...
Ayo semua janganlah ditahan ....

Ayo goyang duyu
Bebaskanlah hatimu..
Ayo goyang duyu ...
Simpan Saja gengsimu ...
ayo goyang duyu ...
uU uU uu ...

by : Project Pop

Diam Tanpa Kata

Kau Diam Tanpa Kata
Kau Seolah Jenuh Padaku
Ku Ingin Kau Bicara
Katakan Saja Apa Salahku

Sungguh Aku Tak Mengerti
Apa Yang Telah Terjadi Dan
Ku Tak Ingin Kau Pergi Jauh Dari Hidupku

Reff :

Kau Takkan Pernah Sadari
Betapaku Mencintaimu
Kau Yang Selalu Aku Banggakan

Ku Ingin Kau Bicara
Katakan Saja Apa Maumu
Lihat Aku Coba Kau Mengerti
Ini Semua Bisa Teratasi
Resapilah Semua Yang Pernah Kita Lakukan

Kau Takkan Pernah Sadari
Betapaku Mencintaimu
Kau Yang Selalu Aku Banggakan
Kau Takkan Pernah Mengerti
Betapaku Menyayangimu
Kau Yang Selalu Aku Inginkan

Kau Yang Kuinginkan…
Kau Yang Kubutuhkan…
Kau Yang Kuharapkan…

by : D'masiv


Demi Cinta

Maaf ku telah menyakitimu
Ku telah kecewakanmu
Bahkan ku sia-siakan hidupku
Dan ku bau kaus putih diriku
Walau hati ini trus menangis
Menahan kesakitan ini
Tapi kulakukan semua
Demi cinta

Akhirnya juga harus kurelakan
Kehilangan cinta sejatiku
Segalanya telah kuberikan
Juga semua kekuranganku
Jika memang ini yang terbaik
Untuk diriku dan dirinya
Kan kuterima semua
Demi Cinta

Reff:
Jujur…aku tak kuasa
Saat terakhirku genggam tanganmu
Namun…yang pasti terjadi
Ku tak mungkin kan bersama lagi
Bila nanti esok hari
Kutemukan dirimu bahagia
Ijinkan aku titipkan
Usai cinta kita selamanya

by : Krispatih

Laskar Pelangi

mimpi adalah kunci
untuk kita menaklukkan dunia
telah hilang
tanpa lelah sampai engkau
meraihnya

laskar pelangi
takkan terikat waktu
bebaskan mimpimu di angkasa
raih bintang di jiwa

menarilah dan terus tertawa
walau dunia tak seindah surga
bersukurlah pada yang kuasa
cinta kita di dunia

selamanya…

cinta kepada hidup
memberikan senyuman abadi
walau ini kadang tak adil
tapi cinta lengkapi kita

laskar pelangi
takkan terikat waktu
jangan berhenti mewarnai
jutaan mimpi di bumi

menarilah dan terus tertawa
walau dunia takseindah surga
bersukurlah pada yang kuasa
cinta kita di dunia

selamanya…

By : Nidji

Lagu Katakan Yang Sebenarnya

Katakan padaku yang sebenarnya kau mau
Agar aku bisa lanjutkan hidupku
Perasaanku mengatakan ‘kan ada pisah
Tapi mengapa kau menarik ulur hatiku

Jika kau butuh katakan butuh
Jika kau cinta katakan cinta

Katakan padaku apa yang harus ku buat
Biarkan kau bahagia dan aku juga bahagia
Perasaanku mengatakan ‘kan ada pisah
Tapi mengapa kau menarik ulur hatiku

Reff:
Jika kau butuh katakan butuh
Jika kau cinta katakan cinta
Jika berpisah pisahlah saja
Sakit dan perih hanya sementara

Back to Reff:

Katakan padaku yang sebenarnya kau mau
Agar aku bisa melanjutkan hidupku

Back to Reff:

By : Dewiq


Saat Terakhir

Tak pernah terpikir olehku
Tak sedikitpun ku bayangkan
Kau akan pergi tinggalkan kusendiri

Begitu sulit kubayangkan
Begitu sakit ku rasakan
Kau akan pergi tinggalkan ku sendiri

Dibawah batu nisan kini
Kau tlah sandarkan
Kasih sayang kamu begitu dalam
sungguh ku tak sanggup
Ini terjadi karna ku sangat cinta

Inilah saat terakhirku melihat kamu
Jatuh air mataku menangis pilu
Hanya mampu ucapkan
Selamat jalan kasih

Satu jam saja kutelah bisa cintai kamu;kamu;kamu di hatiku
Namun bagiku melupaknmu butuh waktuku seumur hidup
Satu jam saja kutelah bisa sayangi kamu… di hatiku
Namun bagiku melupaknmu butuh waktuku seumur hidup
di nanti ku……

By : ST12

Seindah Mentari Pagi

Pagi itu di dapur....
" Bu,.. awas itu ikannya hampir gosong loh... ", seru khadimatku, Asih, membuyarkan lamunanku.
" Masya Allah...", seruku seraya mematikan kompor.
" Nah loh ibu lagi ngelamun ya... ?", goda Asih lagi.
" Ah, kamu ini... ayo mana belanjaannya ? ", tanyaku.
" Asih, hari ini kita bikin bali ikan, sayurnya kita bikin lodeh saja terus goreng tahu, tempe dan kerupuk". Asih, khadimatku sudah lama ikut aku dan keluarga. Sejak dia baru lulus SD sampai sekarang dia sudah lulus SMEA. Kami sekeluarga sudah menganggap Asih sebagai anggota keluarga sendiri.

Selesai masak bareng Asih sambil menunggu adzan dzuhur aku berniat meneruskan tulisanku semalam, tapi aku hanya termenung di depan layar monitor tanpa dapat memusatkan pikiranku. Aku kembali meneruskan lamunanku yang tadi sempat terputus gara-gara Asih mengejutkanku. Semalam selepas kami sholat Isya' berjamaah, Sarah putri tunggalku menghampiriku di kamar.
" Ummi,... ummi lagi repot ? ", tanya Sarah.
" Nggak kog sayang, ada apa ? ".
" Malam ini ummi nggak nulis ?, biasanya ba'da isya ummi khan langsung asyik sama komputer ".
" He.. he.. Sarah,...Sarah....nggak kog, memang sih ummi mau nulis tapi nanti-nanti saja. Ada apa sholihah... ? ".
" Eng.. eng... ada yang mau Sarah diskusikan sama ummi ".
" Ya,... tentang apa nak ? ".
" Tapi ummi harus janji dulu sama Sarah loh.. ".
" Janji.. ? ada apa memangnya ? ".
" Ya ummi, janji dulu ya mi yah... ? ", Sarah mulai dengan rengekan manjanya
" Iya deh insya Allah.... ".
" Ummi musti janji pertama ummi jangan motong dulu sebelum Sarah selesai, terus yang kedua ummi jangan bicarakan ini dulu sama siapapun kecuali sama Abi. Sarah nggak mau kalau mas Fadhil, mas Yazid dan Zakly tahu sebelum waktunya ", kata Sarah seraya menatapku.
" Hhhmm.... iya insya Allah ".
" Nah,... sekarang ummi dengarkan baik-baik yah...? ", pinta Sarah dengan kerlingan manjanya.
" Iya.... ini dari tadi juga ummi sudah dengerin kog...", kataku mulai tak sabar.
" Mmhhhh... begini ummi,.... akhir-akhir ini Sarah mulai berpikir kalau... mmhhh...mmhhh.. kalau Sarah pingin menyempurnakan setengah dari dien Sarah ", kata Sarah perlahan lantas Sarah tertunduk dan diam.
Aku masih terdiam, rasanya otakku saat itu bekerja dengan sangat lambat untuk mencerna kata-kata Sarah. Sarah ingin menyempurnakan setengah dari diennya itu artinya Sarah hendak menikah....Subhanallah... Alhamdulillah... putri tunggalku sudah berpikir ke arah sana.

" Sarah,...subhanallah nak...", aku tak dapat meneruskan kata-kataku.
" Ummi kaget Sarah,... tapi sekaligus juga bangga ", kataku seraya memeluk Sarah yang masih tertunduk di hadapanku. " Alhamdulillah nak.... Insya Allah kalau nanti abi sudah pulang akan ummi diskusikan dengan abi. Nah,...mau ngomong begitu aja kog dari tadi pakai takut-takut segala sih sayang.. ? ", godaku.
Sarah masih menunduk sambil tersenyum.
" Sekarang masalahnya Sarah mau nikah sama siapa ?", tanyaku. "Atau Sarah pingin abi dan ummi yang carikan calonnya ? ".
" Mmhh... sebenarnya Sarah sudah punya calon ummi.... ", katanya perlahan.
" Heh... ?? Sarah sudah punya calon... kog abi dan ummi nggak tahu ? ".

Terus terang aku terkejut. Aku kenal betul siapa Sarah, ia sangat hati- hati dalam menjaga pergaulan dengan lawan jenisnya. Tapi kog tahu-tahu sekarang sudah ada calon.
" Ummi masih janji kalau nggak memotong sebelum Sarah selesai khan,...sekarang Sarah mau cerita yang lengkap ". Sarah menarik nafas.
" Begini ummi,... ada temen pengajian Sarah di kampus, akhwat itu punya mas. Nah, masnya itu insyaAllah akhlaq dan diennya baik ".
" Hhmm.... lantas.. ", kataku tak sabar.
" Temen Sarah itu mengusulkan agar Sarah menikah dengan masnya. Nah,.. sekarang Sarah mau minta tolong ummi dan abi atau mas Fadhil atau mas Yazid untuk menyelidiki apa memang betul ikhwan itu diennya baik dan insya Allah bisa cocok sama Sarah ".
" Hhhmmm... begitu ? ".
" Sarah belum pernah ketemu sama ikhwan itu, Sarah baru lihat fotonya saja dan Yasmin, teman Sarah itu cerita kalau ikhwan itu insya Allah shalih. Sarah percaya sama Yasmin, ummi masih ingat Yasmin khan yang pernah kesini itu lho... ".
" Ummi lupa abis khan banyak akhwat temen Sarah yang main kesini ".
" Ummi,... abi dan ummi khan selalu bilang kalau apapun yang kita kerjakan harus lillaahita'ala khan ? ", tanya Sarah. Aku hanya mengangguk....
" Ummi,....insya Allah Sarah ingin pernikahan ini juga menjadi ibadah karena Sarah pingin mencari ridho Allah ummi. Sarah ingin nikah dengan ikhwan itu karena Sarah ingin menolong ia dan keluarganya mi... Ummi,.. sebenarnya ia sudah menikah, sudah punya isteri ".
" Heh....", seruku dengan terkejut.

Tanpa memperdulikan keterkejutanku Sarah kembali meneruskan kata-katanya.
" Ummi, ikhwan itu sudah nikah hampir 6 tahun, tapi sampai sekarang belum dikasih amanah oleh Allah, isterinya punya fisik yang lemah, sering sakit-sakitan. Sarah berpikir ummi,.... Sarah ingin bisa menolong keluarga itu untuk sama-sama berjihad di jalan Allah. Sarah bisa bantu-bantu pekerjaan rumah tangga dan insya Allah nanti Sarah bisa melahirkan jundi-jundi yang bisa dididik sama-sama. Ummi ingat ya ummi,... Sarah insyaAllah mau melakukan ini semua hanya karena Allah, Sarah cuma mau mencari ridho Allah saja ummi.... Sarah sudah istikharoh berkali-kali dan Sarah makin hari makin mantap aja ".

Aku hanya terdiam,... tak tahu harus berkata apa. Terus terang aku sangat ingin suamiku ada disampingku saat ini. Kenapa Sarah harus membicarakan hal itu di saat suamiku ke luar kota. Aku bingung tak tahu harus berkata apa....

" Ummi,.... ", panggil Sarah perlahan.
" Sarah,...sekarang ummi mau tanya ya nak... ".
" Bagaimana awal mulanya kog tiba-tiba Sarah ingin menikah dengan ikhwan itu ? ".
" Begini ummi,...Yasmin bilang kalau mbak Asma, nama isteri masnya itu, pernah bilang ke Yasmin bahwa mbak Asma ingin suaminya menikah lagi ".
" Hhmmm.... terus.... ".
" Soalnya mbak Asma tahu benar kalau suaminya sudah ingin punya jundi sementara mbak Asma sendiri sampai sekarang belum juga dikasih kesempatan oleh Allah untuk hamil. Kasihan mbak Asma ummi,...sudah fisiknya lemah, kesepian lagi. Sehabis Yasmin cerita begitu Sarah jadi kepikiran, Sarah ingin membantu keluarga itu ummi.... Sarah pingin bisa bantu-bantu mbak Asma, nemenin mbak Asma, insyaAllah nanti Sarah juga bisa melahirkan jundi yang bisa dididik sama-sama. Khan Ummi sendiri yang bilang kalau untuk menuju kebangkitan Islam memerlukan generasi yang berkualitas, insya Allah nanti akan lahir generasi-generasi robbani ."

Setelah sholat dzuhur berdua dengan Asih aku kemudian makan sendirian. Kalau siang seperti ini rumah selalu sepi, hanya aku berdua dengan Asih saja. Mereka biasanya makan di kampus masing-masing dan Yazid makan di cafetaria kantornya. Terus terang aku kesepian, ingin rasanya aku segera mendapatkan cucu-cucu dari mereka. Dan kini salah seorang dari mereka mengajukan keinginannya untuk menikah, tapi...kenapa Sarah hendak nikah dengan seseorang yang telah beristri?.... Rasanya sejak semalam aku sulit berpikir secara jernih, aku terlalu terbawa alam perasaanku. Diantara mereka berempat aku tidak membeda-bedakan kasih sayangku. Aku selalu berusaha adil terhadap mereka. Tapi tak dapat kupungkiri kalau Sarah menempati posisi yang lebih istimewa. Perhatianku lebih tercurah ekstra pada Sarah. Karena Sarah hanya satu-satunya putri tunggalku. Aku lebih melindungi Sarah dibandingkan dengan putra-putraku yang lain. Timbul rasa was-was dalam hatiku, bagaimana kalau seandainya suaminya nanti tak dapat berlaku adil, bagaimana kalau seandainya madu Sarah tidak memperlakukannya dengan baik karena merasa mendapat saingan dan bagaimana kalau nanti Sarah tidak bahagia. Semua itu menjadi beban pikiranku. Aku menyayangi Sarah, dan wajar bila sebagai seorang ibu aku ingin melihat anak-anakku bahagia. Aku menjadi tidak berselera makan. Tiba-tiba...

" Assalamu'alaikum,...", suara Zakly kudengar dari teras depan.
" Wa'alaikumussalam,... loh kog sudah pulang ? ", tanyaku.
" Iya mi, dosennya nggak ada... lagi pula siang ini sudah nggak ada kuliah lagi kog ", jawab Zakly seraya mencium tanganku.
" Ayo makan sekalian,...ummi baru saja mulai ".
" Sebentar mi, cuci tangan dulu... ".

Seperti kebiasaan mereka sejak kecil, setiap pulang sekolah waktu makan siang mereka akan bercerita tentang kejadian mereka di sekolah hari itu. Dan hingga kini meskipun mereka telah beranjak dewasa kebiasaan itu tetap terbawa. Zakly sedang bercerita tentang susahnya mencari dosen pembimbingnya untuk skripsi. Tapi aku hanya menanggapi setengah hati, konsentrasiku tidak terpusat seutuhnya pada apa yang dibicarakannya.

" Ummi,.... ummi kenapa sih...? ", tanya Zakly.
" Oohh...nggak,... Zakly bilang apa tadi temen Zakly kenapa ? ".
" Nah khan... ketahuan deh kalo ummi nggak dengerin Zakly ngomong ".
" Nggak,.. kenapa tadi.... ? ".
" Sejak tadi pagi Zakly perhatikan ummi hari ini agak lain deh... ".
" Ah masa sih,... itu khan perasaan Zakly saja.. ".
" Bener kog... tadi pagi di garasi mas Yazid saja tanya sama Zakly, kog ummi pagi ini agak diam ya... nggak secerewet biasanya ".
" Eh,...ghibah ih,...ngomongin umminya ", sahutku sambil tersenyum.
" Bener kog... ummi nggak sakit khan ?? ".
" Nggak ummi nggak apa-apa kog... ".
" Kalo nggak apa-apa kog ummi jadi agak lain ayo !", desak Zakly masih dengan ngototnya.
Sifat Zakly ini menurun dari abinya, yang nggak akan berhenti bertanya kalo belum mendapatkan jawaban yang dapat memuaskan hatinya.
" Ummi...ummi cuma pingin abi cepet pulang, gitu aja.." sahutku perlahan.
" Ha.... ha.... ", meledak tawa Zakly.
" Lho kog ketawa sih ? ",tanyaku.
" Abis ummi lucu, kaya pengantin baru aja deh.... dikit-dikit kangen pingin ketemu abi ".
" Yah wajar dong.... namanya juga suami isteri ".
" Tapi ummi lucu deh... kita khan pura-pura nggak tahu aja, kalau sebenarnya di belakang kita ummi tuh kolokan banget sama abi... ", goda Zakly lagi.
" Hhhmmm.... kata siapa ? ", tanyaku tak mau kalah.
" Yah ummi...ngaku aja deh,...kalau ummi khan masih manja banget sama abi, ummi kita khan udah pada gede-gede, sudah ngerti ", kata Zakly masih sambil ketawa.
" Udah ah,... ketawa aja tersedak lho nanti maemnya.. ",sahutku.
" Mmmhh...ummi nggak mau ngakuin tuh..., sabar dong ummi insya Allah besok abi khan sudah pulang ", goda Zakly lagi.
" Udah,... cepat dihabisin maemnya Zakly... ".
" Iya nyonya besar.... ", kata Zakly sambil tersenyum-senyum menggoda.
" Ummi,...", panggil Zakly lagi.
" Apa lagi sholeh ?? ".
" Mmhh... Zakly nanti ingin kalau punya rumah tangga seperti rumah tangga abi dan ummi.... ".
" Kenapa memangnya... ? ".
" Sepertinya abi sama ummi tuh seneenng terus, nggak pernah Zakly lihat abi sama ummi ribut, meskipun sudah tua-tua tapi masih seperti pengantin baru saja ".
" Hhmmm... kalian khan nggak tau saja, pernah juga abi dan ummi berselisih, karena beda pendapat, itu wajar dalam rumah tangga ".
" Oya... kog Zakly nggak tahu.. ".
" Aduh anakku sholeh.... masa sih kalau abi sama ummi lagi nggak enakan harus lapor sama kalian, nggak khan ?".
" Iya.. ya.... ".
" Itu rahasia abi dan ummi, kita selesaikan berdua, diskusi, dibahas, saling menghargai pendapat lawan, cari jalan tengahnya ".
" Terus mi.... ".
" Ya sudah,...berusaha menyelesaikannya secepat mungkin, dan saling mengalah. InsyaAllah keadaan cepat normal lagi, baikan lagi. Kunci yang penting Zakly,... kalau nanti Zakly sudah berkeluarga, jangan pernah kalian ribut di depan anak-anak, karena nggak baik buat perkembangan jiwa mereka. Selesaikan berdua ketika sudah sama-sama tenang sehabis sholat misalnya ".
" Hhmmm... itu makanya abi sama ummi tetap awet sampai sekarang yah ? ".
" Yah... alhamdulillah nak, abi dan ummi saling cinta meskipun dulu kita nggak pakai istilah pacaran ".
" Iya mi,... Zakly tahu itu....subhanallah....
"Iya,... Islam sudah bikin aturan yang benar dan baik tinggal tergantung kita mau ikut atau nggak ", kataku lebih lanjut. Sudah sekarang cepat habisin maemnya... ".
" Jazakillah ya ummi buat materinya siang ini.... ".
" Hhmm... waiyakallahu.. ".

Dan tiba-tiba.... kring... dering suara telfon.
" Hallo,... ", angkat Yazid.
" 'Alaikumussalam,... oh abi nih... Iya bi,... bener nih nggak usah dijemput ?. Iya-iya....insya Allah.... 'alaikumussalam... ".
" Dari abi, Yazid ?? ", tanyaku.
" Iya,... seminar abi ternyata selesai hari ini, abi sekarang ada di airport sebentar lagi pulang ".
" Lho,... abi nggak minta dijemput ? ", tanyaku.
" Kata abi, abi mau naik taksi saja biar cepat, kalau nunggu dijemput kelamaan ".
" Insya Allah sebentar lagi abi pulang ". harapku.

Selesai sholat isya'....

" Kalian sudah pada lapar ya ?, mau makan sekarang atau nunggu abi saja sekalian ? ", tanyaku.
" Nanti aja mi,... enakan bareng-bareng abi aja.. ".
" Kalau kalian mau maem dulu nggak apa-apa, biar nanti ummi saja yang nemenin abi ".
" Nggak usah mi,... khan sebentar lagi insya Allah abi juga datang ", jawab Fadhil lagi.
Dan benar, tak berapa lama kemudian....
" Assalamu'alaikum,...", suara suamiku dari teras depan.
" Wa'alaikumussalam... ", jawab kami berbarengan.
Kelakuan mereka masih persis anak-anak langsung berebut membuka pintu buat abinya dan mencium tangan abinya. Kalau melihat mereka seperti itu tak percaya rasanya kalau mereka sudah pada besar-besar dan sudah waktunya untuk nikah. Ah,...nikah lagi... kenapa itu yang ada dipikiranku selalu.

" Ummi,..ini nih pacar ummi udah datang...", seru Zakly.
" Zakly,...apa-apa an sih ya...", kataku sambil melotot.
" Alah.. ummi, tadi siang bilang kangen, pingin abi cepet pulang, sekarang malah berdiri disitu aja... ", goda Zakly lagi.
" He.. he.... memang tadi siang ummi kenapa Zakly ", tanya suamiku.
" Tadi siang nih bi.... ".
" Udah Zakly,... abi baru aja dateng,... cuci tangan dulu deh bi,.. terus kita maem ", potongku langsung.
" Iya bi,.. kita tadi udah laper nungguin ", kata Sarah.

Seperti biasa waktu makan malam adalah saat dimana kami dapat makan bersama. Kalau pagi, anak-anak biasa sarapan lebih dulu sedangkan aku dan suamiku hanya sarapan berdua, karena suami ke kantor agak siang dibanding mereka pergi. Kalau siang mereka tak pernah makan di rumah, biasanya aku makan sendiri. Jadi baru makan malamlah kami dapat berkumpul bersama. Dan seperti biasa mereka saling tak mau kalah kalau sudah cerita, jadi bisa dibayangkan bagaimana semaraknya suasana.

" Oya,...tadi Zakly bilang apa tentang ummi ", tanya sumiku mendadak.
" Oh,... he.. he.. ini ummi,... ".
" Kenapa Zakly ? ", tanya Yazid.
" Tadi siang khan Zakly makan di rumah , terus pas Zakly ajak ngobrol ummi tuh kayanya nggak bener-bener ngedengerin deh,... Zakly pikir kenapa gitu.... ".
" Trus.... ", potong Fadhil.
" Waktu Zakly desak-desak ummi bilang nggak apa-apa,.. tapi akhirnya ngaku juga... ".
" Ummi bilang apa... ? ", tanya suamiku.
" Ummi bilang kangen sama abi, pingin abi cepat-cepat pulang, waktu ngomongnya kaya anak remaja yang umur 17 tahun, sambil malu-malu gimanaaa.. gitu ".
Langsung, tawa mereka memecah...
" Ih,... ummi perasaan biasa aja bilangnya, ngapain juga pakai malu-malu segala, orang abi sama ummi udah 28 tahun nikah ", sahutku.
" Alah ummi,..Zakly tadi khan liat muka ummi merah-merah gimana gitu ".
" Oooohh.... pantesan tadi pagi Yazid juga perhatikan ummi agak aneh, nggak seperti biasanya ", sambung Yazid.
" Iya,..ummi tadi pagi agak diam, hhmm baru ketauan ternyata sebabnya kenapa ", kata Fadhil

Mereka masih tertawa-tawa, kulirik Sarah hanya tersenyum tak ikut menggodaku seperti yang lain. Tentu Sarah tahu dialah yang menjadi penyebab kenapa seharian ini aku agak aneh.
" Iya mi,...bener ya apa yang Zakly bilang ", tanya suamiku sambil menatapku dalam-dalam.
" Hhmm.... ", aku hanya tersenyum, jengah juga rasanya ditatap seperti itu di depan anak-anak meskipun mereka udah dewasa.
Mendadak tawa mereka memecah lagi....
" Lho,... kenapa sih... ?? ".
" Coba deh ummi ngaca, muka ummi tuh lucu banget tersipu-sipu gimana gitu, kaya remaja 17 tahunan ", kata Zakly.
" Ummi... ummi...,mau bilang iya aja kog pake malu-malu segala sih... ", kata suamiku.
" Padahal abi khan baru pergi 3 hari yang lalu, ya khan ? ", tanya suamiku ke mereka.
" Tunggu aja bi,.. nanti kalau kita sudah nggak ada, ummi bakal ngaku juga sama abi,... ", kata Zakly.
" Udah ah,... nggak selesai-selesai maemnya nanti, ingat abi belum sholat lho..", kataku mengalihkan pembicaraan.

Setelah suamiku sholat, seperti biasa kami berkumpul di ruang tengah. Dan juga seperti biasa mereka tak pernah habis-habis akan topik bahasan. Mulai dari kerusuhan tentang adanya isyu pembunuhan dukun santet yang menyebabkan sebagian ulama juga ikut terbunuh, tentang harga sembako yang masih saja sulit dijangkau, dan juga tentang keanekaragaman visi dari bermacam-macam partai Islam yang ada. Sampai pada masalah banyaknya anak-anak yang putus sekolah karena tak ada biaya serta kondisi gizi anak-anak balita yang memprihatinkan. Dan seperti biasa, mereka ingin agar segera terbentuk khalifah Islam dimana segala macam bentuk perundang-undangan bersumber pada Al Qur'an dan sunnah Rasul yang insya Allah apabila semuanya itu dilakukan dapat menjamin pola kehidupan masyarakat akan menjadi baik.

Dari balik layar monitor kuperhatikan Sarah tidak selincah biasanya dalam berdiskusi dengan mas-masnya, Sarah hanya sesekali menimpali itu pun dengan nada bicara yang tanpa semangat, sedangkan aku dari tadi duduk di depan komputer, tapi hanya satu paragraf yang berhasil kutulis. Karena perhatianku lebih tercurah pada apa yang mereka bahas dibanding dengan susunan cerita yang sedang kukerjakan. Ingin rasanya aku cepat-cepat menarik suamiku ke kamar untuk membahas keinginan Sarah. Tapi kulihat mereka masih asyik, dan sekarang`mereka sedang nonton Dunia Dalam Berita. Biasanya sehabis acara itu mereka masih duduk di situ untuk membahas berita yang baru saja mereka lihat, sebelum akhirnya masuk ke kamar masing-masing. Setelah dunia dalam berita....
" Abi nggak capek,... khan tadi baru pulang, besok harus ke kantor khan ? ", kataku.
" Besok saja diterusin obrolannya,... atau kalian ngobrol berempat saja... ", sambil kutatap mereka.
" Kasian abi dong.... ", sambungku lagi.
" Hhhmm.... hhmm.... ", Zakly pura-pura batuk, yang aku tahu itu hanya untuk menggodaku saja.
" Iya deh,...lagian masa abi ngobrol sama kalian aja, abi khan juga pingin ngobrol sama ummi ", kata suamiku.
Tawa mereka memecah lagi...
" Bukan,... bukan gitu, abi khan baru pulang, dan besok harus kerja ", bantahku.
" Iya..iya...udah yok mi,.. kita bobo...", ajak suamiku.
" Jangan lupa lho, periksa lagi pintu jendela sebelum kalian masuk kamar ", perintahku pada mereka.

Kulirik jam, sudah pukul 10 kurang seperempat. Tak mungkin rasanya aku bercerita malam ini. Suamiku tentu lelah, biar besok saja setelah sholat shubuh pikirku. Dan kulihat suamiku sudah merebah di tempat tidur dan bersiap-siap untuk tidur. Iya,... nggak mungkin malam ini, besok saja putusku. Tapi aku masih belum dapat memejamkan mata, ingin rasanya hari segera berganti. Aku tidak biasa memendam sesuatu terhadap suamiku. Aku ingin segera menumpahkan apa yang menjadi beban pikiranku. Yah,... insya Allah nanti selepas shubuh...

Setelah qiyamul lail, sambil menunggu shubuh aku bergantian membaca qur'an dengan suamiku. Seperti biasa suamiku dan anak-anak sholat shubuh di mesjid. Tinggal aku, Sarah dan Asih sholat berjama'ah di rumah. Pada halaman terakhir aku membaca Al Matsurat, suamiku pun tiba. Akhirnya setelah kulipat mukena dan kurapikan sajadah aku berdiri di hadapan suamiku yang sedang duduk di tepi tempat tidur....

" Mas,... mas masih ngantuk ? mau tidur lagi ? ".
" Nggak kog,... mas nggak ngantuk, kenapa de' ? ".
" Mmhhh... ada yang mau ade' omongin sama mas... ".
" Iya,.. tentang apa de' ? ", tanya suamiku seraya menarikku untuk duduk di hadapannya.
" Mmhh.. ini tentang Sarah mas,... ".
" Iya,.. ada apa memangnya sama Sarah ? ".

Akhirnya kuceritakan semua apa yang menjadi keinginan Sarah. Rasa banggaku terhadap Sarah yang memiliki niat seperti itu. Persetujuanku terhadap keinginannya, tapi juga sekaligus rasa khawatirku, rasa cemasku akan putri tunggalku. Betapa aku amat mengasihinya dan aku tidak ingin ada sesuatu hal buruk yang akan dialaminya kelak. Di satu pihak apa yang menjadi keinginan Sarah patut untuk aku dukung, karena yang dilakukan Sarah hanyalah untuk mencari ridhoNya semata, tak boleh aku menghalanginya dari jalan Allah. Tapi di pihak yang lain aku khawatir bila nanti suaminya tidak bisa berlaku adil atau rasa cemburu dari madunya akan menyakiti hatinya. Aku rasa kekhawatiranku adalah hal yang wajar, karena waktu Fatimah mengadu kepada Rasulullah SAW akan niat Ali ra yang hendak nikah lagi, Rasulullah pun berkata bahwa apabila menyakiti hati Fatimah, itu sama halnya dengan menyakiti hati beliau, karena rasa kasih sayang Rasulullah sangat besar terhadap Fatimah. Tapi aku sungguh tersentuh dengan niat Sarah yang subhanallah sangat mulia. Kutumpahkan semua uneg-uneg di hatiku pada suamiku.

" De',... mas tahu,...ade' sayang sekali pada Sarah, begitu juga mas ", kata suamiku perlahan.
" Tapi de',... ade' tahu khan kalau Sarah itu bukan milik kita, Allah cuma menitipkan Sarah ke kita. Alhamdulillah Allah mau memberikan amanahNya pada kita, bukan cuma Sarah, tapi juga Fadhil, Yazid dan Zakly ".
" Mas bangga pada anak-anak, begitu juga mas bangga pada ade' yang sudah berperan buat mentarbiyah mereka. Karena mereka semua nantinya harus kita pertanggung-jawabkan kepada Allah. Nah,...sekarang misalnya ade' ada di posisi Asma, sudah fisiknya lemah, sakit-sakitan, kesepian..., padahal dia menginginkan untuk dapat berperan menjadi pendidik generasi yang dapat menggantikan perjuangan generasi sebelumnya, dia juga menginginkan akan adanya panggilan 'ummi' dari seorang anak yang lucu. Gimana coba ? ", tanya suamiku dengan lembut.
" Dari cerita ade' tadi,...Asma sendiri yang usul supaya suaminya nikah lagi, rasanya apa yang ade' khawatirkan insya Allah nggak akan terjadi deh...Dia sudah rela suaminya menikah lagi, dia sudah ridho dan insya Allah diapun akan memperlakukan Sarah dengan baik.. . Ade' juga tau khan kalau Allah pasti memberikan yang terbaik, belum tentu apa yang menurut kita nggak baik tapi sebenarnya itu justru baik menurut Allah, cuma Allah yang tahu ade '...., kita tidak tahu apa-apa... ".

Sampai sini air mataku mulai menetes...Astaghfirullah...Ampuni aku ya Allah,... aku terlalu melibatkan perasaan dan emosiku. Sarah hanyalah milik-Mu, dan Engkau yang akan menjaganya... " Ade',..ade' inget khan kalau rasa cinta kita terhadap keluarga, harta dan sebagainya tidak boleh melebihi rasa cinta kita terhadap Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya ? ",tanya suamiku.
Aku hanya mengangguk....
" Jadi insyaAllah kitapun akan mendapat ridho Allah, dari apa yang dilakukan Sarah nanti...., karena kita dengan ikhlas menyetujui Sarah menikah hanya karena kita juga sama-sama mencintai-Nya ".

Kami sama-sama terdiam sesaat. Kutarik nafas panjang...
" Mas,...", panggilku lirih.
" Ya sayang... gimana ? ", tanya suamiku,
" Iya mas...ade' sudah tenang sekarang,...kalau tadi meskipun ade' setuju tapi tetap ada yang ganjal rasanya ".
" Kalau sekarang.. ? ", tanya suamiku.
" Ade' sekarang sudah ikhlas mas,... hati ade' sudah plong rasanya, ade' sadar ada Allah yang akan menjaga Sarah, Sarah kan cuma milik Allah ya mas ?? ".
" Nah,... gitu dong... insya Allah Sarah, Asma dan Farid bisa membentuk keluarga sakinah, yang bisa mencetak generasi rabbani, kita tinggal mendo'akan mereka saja de'...".
" Tapi mas,... ", kataku tertahan.
" Tapi kenapa lagi ? masih belum sreg juga ?
" Bukan begitu,... cuma mas kog kayanya begitu gampang memutuskan masalah ini, kayanya mas sudah tau tentang ini sebelumnya ", kataku penuh curiga.
" Mmmhhh... sebenernya sebelum ade' cerita tadi mas udah tau kog de'... ", kata suamiku.
" Hah.... ?? ", tanyaku heran.
" Mmmhh.. sebelum mas ke Jakarta Farid dateng ke kantor mas, sudah diskusi dengan mas... ".
" Lho.. ??? ".
" Iya,... Mas juga tahu siapa Farid itu, juga isterinya, tapi waktu itu mas sorenya udah buru-buru mau berangkat mas pikir nanti saja pulang dari Jakarta cerita ama ade', terus pas ade' lagi belanja sama Asih mas interlokal dari Jakarta, yang ada di rumah Sarah, mas tanya sama Sarah. Ternyata Sarah juga sudah tahu dari Yasmin, mungkin Asma sudah minta Yasmin bilang ke Sarah, begitu de' ", penjelasan suamiku.
" Lho,.. Sarah kog nggak bilang kemaren sama ade' kalo mas sebenarnya sudah ngomong sama Sarah duluan ?", tanyaku masih kebingungan.
" Iya,... mas bilang sama Sarah, supaya Sarah bilang sama ade' saja, tanya pendapat ade' gimana gitu... . Khan nggak enak kalau tahu-tahu mas udah langsung ngasih persetujuan duluan padahal ade' masih belum tahu apa-apa", kata suamiku lagi.

Subhanallah....betapa suamiku sangat menghargai aku, dari dulu suamiku tidak pernah mengambil keputusan sendiri dalam masalah rumah tangga, selalu mengajakku untuk berunding terlebih dahulu.
" Tapi mas,...ade' masih mau tanya lagi nih.. ", kataku.
" Iya sayang,... kenapa lagi ? ".
" Tadi mas bilang kalau mas tahu bener siapa Farid itu, memang mas sudah kenal sebelumnya sama Farid ? ".
" Mmmhh....mmmhh....", suamiku tidak menjawab hanya tersenyum saja.
Dan aku tahu apa itu artinya...suamiku tidak akan menjawab pertanyaan semacam itu. Tapi akupun tahu sebesar apa kasih sayang suamiku terhadap Sarah. Tidak mungkin rasanya suamiku membuat keputusan besar seperti ini tanpa lebih dahulu menyelidiki bagaimana keluarga Farid dan Asma.
" Yang penting de',... kita berdo'a aja untuk kebahagiaan mereka ", ujar suamiku.
" Hhhmm... iya deh,... yang penting kita tinggal berdoa saja buat mereka ", kataku.
" Terus mas ada lagi,.. berarti mas tahu dong kemarin pas ade' gelisah soalnya ada yang mau ade' omongin sama mas, ya khan ?", tanyaku.
" Iya doonngg...., masa mas nggak tahu, khan ade paling nggak bisa menyembunyikan sesuatu dari mas, meskipun sebenarnya ade' berusaha nutup-nutupin juga... ".
" Berarti mas tau dong sebenarnya ade' pingin ngomong kemaren ? ", tanyaku lebih gencar.
" Iya dong...tau dong....", kata suamiku sambil tertawa.
" Ih,... mas jahat,... nggak mau dibahas dari kemarin saja... mas tau nggak, ade' tuh semalam nggak nyenyak bobonya,... pingin cepat-cepat pagi biar cepat cerita sama mas... ", jelasku.
" Iya.... mas juga tahu, mas iseng saja... sekalian melatih kesabaran ade'...", sambung suamiku masih tertawa.
" Mas jahat ih.... sudah tua masih suka iseng ngerjain isterinya... ", kataku berusaha untuk tidak ikut tersenyum.
" He.. he.... alaah de'.... mau ketawa aja pakai gengsi segala sih.... ", kata suamiku sambil mengacak-ngacak rambutku. " Hhmmmm.... si mas....", aku sudah kehabisan kata-kata.

Tiba-tiba suara pintu kamar diketuk dengan agak keras, aku sudah hafal siapa lagi kalau bukan Zakly yang berani mengetuk seperti itu...
" Abi,... Ummi,.... pada mau pamitan nih.... ", teriak Zakly dari luar.
" Hhmm....Zakly ya, ngomong agak pelanan khan bisa ", kataku sambil membuka pintu kamar.
" He.. he.... abis tadi Sarah udah ngetuk tapi nggak dibukain sih,..ya udah Zakly aja yang ngetuk lagi, katanya membela diri.
" Lho bi,... kog belum siap ?? nggak ke kantor hari ini ya.. ? ", tanya Fadhil.
" Iya,... nanti agak siangan... ", jawab suamiku.
" Udah pada sarapan ? ", tanyaku.
" Udah dong.... khan kita sarapan sendirian.... ummi sama abi khan masih di dalam kamar ", kata Zakly sambil sedikit memonyongkan bibirnya.
" Khan udah pada gede juga.... ", kataku sambil tertawa.
" Ya udah mi,... berangkat dulu nih.... ", kata Yazid sambil mereka bergantian mencium tangan kami satu-persatu.
" Sarah,...berangkat ya mi... ", katanya sambil berbisik di telingaku sambil mencium pipiku.
" Iya nak,... hati-hati ", lantas kupeluk Sarah agak erat. Sarah pun membalas pelukanku dan sambil mengusap kerudungnya aku seraya berbisik bahwa aku ikhlas menyetujuinya. Kulihat mata Sarah berkaca-kaca....
" Woow... Sarah pamit ke ummi aja sampai kaya gitu, kaya di film-film telenovela aja ", goda Zakly.
" Udah ah,... kamu khan nggak tahu ", balas Sarah.
" Lho memangnya ada apa sih mi... ? ", tanya Fadhil.
" Udah,... sekarang berangkat saja kalian, udah siang lho nanti malam saja kita bahas... ", kata suamiku.
" Lho... emang ada apa... ?? ", tanya Zakly lagi.
" Udah.... berangkat sana.... ingat Zakly kalau naik motor jangan ngebut....terus kalian kalau jajan jangan sembarangan, sekarang lagi musim macam-macam penyakit ", kataku mulai lagi dengan segala pesan-pesan.
" Yah,.... ummi balik lagi dah... padahal kemarin udah anteng, udah diem ya mas Yazid ? ", kata Zakly.
" Iya nih ummi... habis abi sudah pulang sih...", timpal Yazid.
" Iya,... balik lagi deh berisiknya ", tambah Zakly.
" Zakly,... kog ngomong gitu sama umminya.. ", kataku.
" Afwan mi,.. becanda mi.... ", kata Zakly sambil memeluk bahuku.
" Hhmmm... udah ah,..pada terlambat lho nanti... ".
" Assalamu'alaikum....", kata mereka berbarengan.
" Wa'alaikumussalam...".

Aku antar mereka sampai depan rumah. Sambil menikmati hangatnya sinar mentari pagi di teras depan, aku termenung,....alhamdulillah aku bahagia ya Allah atas segala nikmat-Mu. Lindungilah mereka Ya Allah, tuntunlah selalu langkah-langkah mereka, penuhilah hati dan cinta mereka hanya dengan iman dan takwa kepada-Mu semata....

Rabbanaa hablanaa min azwajinaa wadzurriyaatinaa qurrota
'ayun waj'alnaa lil muttaqiina imaama...
Amiin Ya Rabbal 'aalamiin....


referensi : cerpen islam

Sebuah Kisah.........

Assalamu'alaikum...

Ini ceritaku tentang adikku Nur Annisa, gadis yang
baru beranjak dewasa namun rada bengal dan tomboy.
Pada saat umur adikku menginjak 17 tahun ,
perkembangan dari tingkah lakunya rada mengkhawatirkan ibuku , banyak teman
cowoknya yang datang kerumah dan itu tidak mengenakkan ibuku sebagai
seorang guru ngaji.

Untuk mengantisipasi hal itu ibuku menyuruh adikku
memakai jilbab, namun selalu ditolaknya hingga timbul
pertengkaran-pertengkaran kecil diantara mereka.

Pernah satu kali adikku berkata dengan suara yang
rada keras "mama coba lihat deh, tetangga sebelah anaknya pakai
jilbab namun kelakuannya ngga beda beda ama kita-kita, malah
teman teman ani yang disekolah pake jilbab dibawa om om, sering
jalan-jalan, masih mending ani, walaupun begini gini ani ngga pernah mo
kaya' gituan ", bila sudah seperti itu ibuku hanya mengelus dada,
kadangkala di akhir malam kulihat ibuku menangis, lirih terdengar doanya "
Ya Allah , kenalkan Hani dengan hukum Engkau ".

Pada satu hari di dekat rumahku, ada tetangga baru
yang baru pindah. Satu keluarga dimana mempunyai enam anak yang
masih kecil-kecil. Suaminya bernama Abu khoiri, (entah nama aslinya
siapa) aku kenal dengannya waktu di masjid.

Setelah beberapa lama mereka pindah timbul desas
desus mengenai istri dari Abu khoiri yang tidak pernah keluar rumah,
hingga dijuluki si buta, bisu dan tuli. Hal ini terdengar pula oleh
Adikku, dan dia bertanya sama aku "kak, memang yang baru pindah
itu istrinya buta, bisu dan tuli ?"

..trus aku jawab sambil lalu "kalau kamu mau
datangin aja langsung rumahnya".

Eehhh, tuh anak benar-benar datang ke rumah….
Sekembalinya dari rumah tetanggaku, kulihat perubahan yang drastic pada
wajahnya, wajahnya yang biasa cerah ngga' pernah muram atau lesu
mejadi pucat pasi..entah apa yang terjadi.?

Namun tidak kusangka selang dua hari kemudian dia
meminta pada ibuku untuk dibuatkan Jilbab ..yang panjang lagi..rok
panjang, lengan panjang..aku sendiri jadi bingung..aku
tambah bingung campur syukur kepada Allah SWT karena kulihat perubahan
yang ajaib..yah kubilang ajaib karena dia berubah total..tidak
banyak lagi anak cowok yang datang ke rumah atau teman teman wanitanya
untuk sekedar bicara yang ngga' karuan..kulihat dia banyak merenung,
banyak baca-baca majalah islam yang biasanya dia suka beli majalah
anak muda kaya' gadis atau femina, ganti jadi majalah-majalah
islam, dan kulihat ibadahnya pun melebihi aku, tak ketinggalan
tahajudnya, baca Qur'annya, sholat sunat nya..dan yang lebih
menakjubkan lagi ..bila teman ku datang dia menundukkan pandangan..Segala
puji bagi Engkau ya Allah SWT jerit hatiku..

Tidak berapa lama aku dapat panggilan kerja di
kalimantan, kerja di satu perusahaan minyak KALTEX. Dua bulan aku
bekerja disana aku dapat kabar bahwa adikku sakit keras hingga
ibuku memanggilku untuk pulang ke rumah (rumahku di madiun). Di
pesawat tak henti hentinya aku berdoa kepada Allah SWT agar Adikku
di beri kesembuhan, namun aku hanya berusaha. ketika aku tiba di
rumah..didepan pintu sudah banyak orang..tak dapat kutahan aku lari
masuk kedalam rumah..kulihat ibuku menangis ..aku langsung
menghampiri dan memeluk ibuku..sambil tersendat
sendat ibuku bilang sama aku
"dhi , adikkmu bisa ucapkan kalimat Syahadah di
akhir hidupnya "..tak dapat kutahan air mata ini...

Setelah selesai acara penguburan dan lainnya ,
iseng aku masuk kamar adikku dan kulihat Diary diatas mejanya..diary
yang slalu dia tulis, Diary tempat dia menghabiskan waktunya
sebelum tidur kala kulihat sewaktu almarhumah adikku masih hidup,
kemudian kubuka selembar demi selembar..hingga tertuju pada satu
halaman yang menguak misteri dan pertanyaan yang slalu timbul di
hatiku..perubahan yang terjadi ketika adikku baru pulang dari rumah Abu
khoiri..disitu kulihat Tanya jawab antara adikku dan istri dari
tetanggaku ..isinya seperti ini :

Tanya jawab ( kulihat dilembaran itu banyak bekas
airmata )

Annisa :
aku berguman (wajah wanita ini cerah dan bersinar layaknya bidadari)

.....ibu.. wajah ibu sangat muda dan cantik

Istri tetanggaku :
Alhamdulillah ..sesungguhnya kecantikan itu datang dari lubuk hati

Annisa :
tapi ibu kan udah punya anak enam ..tapi
masih kelihatan cantik

Istri tetanggaku :
Subhanallah ..sesungguhnya keindahan itu milik Allah SWT
dan bila Allah SWT berkehendak.. siapakah yang bisa menolaknya

Annisa :
Ibu..selama ini aku slalu disuruh memakai jilbab oleh ibuku ….
namun aku selalu menolak karena aku pikir ngga
masalah aku ngga pakai jilbab asal aku tidak macam macam dan
kulihat banyak wanita memakai jilbab namun kelakuannya melebihi kami
yang tidak memakai jilbab..hingga aku ngga pernah mau untuk pakai
jilbab..menurut ibu bagaimana

Istri tetanggaku :
duhai Annisa, sesungguhnya Allah SWT menjadikan seluruh tubuh
wanita ini perhiasan dari ujung rambut hingga ujung kaki,
segala sesuatu dari tubuh kita yang terlihat oleh bukan muhrim kita
semuanya akan dipertanggung jawabkan
di hadapan Allah SWT nanti, jilbab adalah hijab untuk wanita ..

Annisa :
tapi yang kulihat banyak wanita jilbab
yang kelakuannya ngga enak..

Istri Tetanggaku :
Jilbab hanyalah kain, namun
hakekat atau arti dari jilbab itu sendiri yang harus kita pahami

Annisa :
apa itu hakekat jilbab ?

Istri Tetanggaku :
Hakekat jilbab adalah hijab
lahir batin , hijab mata kamu dari memandang lelaki yang bukan muhrim
kamu, hijab lidah kamu dari berghibah dan kesia siaan
...usahakan slalu berdzikir kepada Allah SWT, hijab telinga kamu dari
mendengar perkara yang mengundang mudharat baik untuk dirimu maupun
masyarakat, hijab hidungmu dari mencium cium segala yang berbau
busuk, hijab tangantangan kamu dari berbuat yang tidak senonoh, hijab
kaki kamu dari melangkah menuju maksiat, hijab pikiran kamu dari
berpikir yang mengundang syetan untuk memperdayai
nafsu kamu, hijab hati kamu dari sesuatu selain Allah SWT, bila kamu
sudah bisa maka jilbab yang kamu pakai akan menyinari
hati kamu..itulah hakekat jilbab

Annisa :
ibu aku jadi jelas sekarang dari arti
jilbab..mudah mudahan aku bisa pakai jilbab ..namun bagaimana aku bisa
melaksanakan semuanya

Istri tetanggaku :
Duhai nisa bila kamu memakai
jilbab itu lah karunia dan rahmat yang datang dari Allah SWT yang Maha
Pemberi Rahmat, bila kamu mensyukuri rahmat itu kamu akan
diberi kekuatan untuk melaksanakan amalan-amalan jilbab hingga
mencapai kesempurnaan yang diinginkan Allah SWT

Duhai nisa ..ingat lah akan satu hari dimana
seluruh manusia akan dibangkitkan..ketika ditiup terompet yang kedua
kali ..pada saat roh-roh manusia seperti anai-anai yang
bertebaran dan dikumpulkan dalam satu padang yang tiada batas,
yang tanahnya dari logam yang panas, tidak ada rumput maupun
tumbuhan, ketika tujuh matahari didekatkan di atas kepala kita namun
keadaan gelap gulita, ketika seluruh seluruh nabi ketakutan, ketika ibu
tidak memperdulikan anaknya, anak tidak memperdulikan ibunya , sanak
saudara tidak kenal satu sama lain lagi, kadang satu sama lain bisa
menjadi musuh, satu kebaikan lebih berharga dari segala
sesuatu yang ada di alam ini, ketika manusia
berbaris dengan barisan yang panjang dan masing masing hanya memperdulikan
nasib dirinya, dan pada saat itu ada yang berkeringat karena rasa
takut yang luar biasa hingga menenggelamkan dirinya, dan rupa-rupa
bentuk manusia bermacam-macam tergantung dari amalannya, ada yang
melihat ketika hidupnya namun buta ketika dibangkitkan, ada yang
berbentuk seperti hewan, ada yang berbentuk seperti syetan, semuanya
menangis..menangis karena hari itu Allah SWT murka.. belum pernah
Allah SWT murka sebelum dan sesudah hari itu. hingga ribuan tahun manusia
didiamkan Allah SWT di padang mahsyar yang panas membara hingga
Timbangan Mizan digelar itulah hari Hisab..

Duhai Annisa bila kita tidak berusaha untuk
beramal di hari ini, entah dengan apa nanti kita menjawab bila kita disidang
oleh Yang Maha Perkasa, Yang Maha Besar, Yang Maha Kuat, Yang
Maha Agung. Allah SWT . Sampai disini aku baca diarynya karena kulihat
berhenti dan banyak tetesan air mata yang jatuh dari pelupuk matanya.
Subhanallah.. kubalik lembar berikutnya dan kulihat tulisan : kemudian
kulihat tulisan kecil di bawahnya buta, tuli dan bisu.. wanita yang tidak pernah
melihat lelaki selain muhrimnya, wanita yang tidak pernah mau mendengar
perkara yang dapat mengundang murka Allah SWT, wanita tidak pernah
berbicara ghibah dan segala sesuatu yang mengundang dosa dan sia-sia

tak tahan airmata ini pun jatuh. Semoga Allah SWT
menerima Adikku di sisinya..Amin
Subhanallah ..aku harap cerita ini bisa menjadi
iktibar bagi kita semua.

Wassalam...


referensi : cerpen islami

Mafka ibu "Bidadari kecilku"

Malam belum seberapa tua, mata anak

sulungku belum juga bisa dipejamkan. Beberapa buku

telah habis kubacakan hingga aku merasa semakin lelah.

"Kamu tidur donk Dila, Ibu capek nih baca buku terus,

kamunya nggak tidur-tidur," pintaku .

Ditatapnya dalam wajahku, lalu kedua tangannya yang

lembut membelai pipiku. Dan, oh Subhanallah,

kehangatan terasa merasuki tubuhku ketika tanpa

berkata-kata diciumnya kedua pipiku. Tak lama, ia

minta diantarkan pipis dan gosok gigi. Ia tertidur

kemudian, sebelumnya diucapkannya salam dan maafnya

untukku. "Maafin kakak ya Bu. Selamat tidur," ujarnya

lembut.

Kebiasaan itulah yang berlaku dikeluarga kami sebelum

tidur. Aku menghela nafas panjang sambil kuperhatikan

si sulung yang kini telah beranjak sembilan tahun. Itu

artinya telah sepuluh tahun usia pernikahan kami.

Dentang waktu didinding telah beranjak menuju tengah

malam. Setengah duabelas lewat lima ketika terdengar

dua ketukan di pintu. Itu ciri khas suamiku. Seperti

katanya barusan ditelepon, bahwa ia pulang terlambat

karena ada urusan penting yang tak bisa ditunda besok.

Suamiku terkasih sudah dimuka pintu. Cepat kubukakan

pintu setelah

sebelumnya menjawab salam. "Anak-anak sudah tidur?"

Pertanyaan itu yang terlontar setelah ia bersih-bersih

dan menghirup air hangat yang aku suguhkan. "Sudah,"

jawabku singkat.

"Kamu capek sekali kelihatannya. Dila baik-baik saja?"

Aku menggangguk. "Aku memang capek. Tapi aku bahagia

sekali, bahkan aku pingin seperti ini seterusnya."

Lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu menatapku

dengan sedikit bingung. "Akan selalu ada do'a untukmu,

karena keikhlasanmu mengurus anak-anak dan suami

tentunya. Dan aku akan minta pada Allah untuk

memberimu pahala yang banyak," hiburnya kemudian.

Aku tahu betapa ia penasaran ingin tahu apa yang

hendak aku katakan, tapi ia tak mau memaksaku untuk

bercerita. Tak sanggup aku menahan gejolak perasaan

dalam dada yang sepertinya hendak meledak. Kurangkul

erat tubuhnya. "Maafkan aku mas," bisikku dalam hati.

Pagi ini udara begitu cerah. Dila, sulungku yang

semalam tidur paling akhir menjadi anak yang lebih

dulu bangun pagi. Bahkan ia membangunkan kami untuk

sholat subuh bersama. Mandi pagipun tanpa dikomandoi

lagi. Dibantunya sang adik, Helmi, memakai celana.

Dila memang telah trampil membantuku mengurus adiknya.

Tak hanya itu, menyapu halamanpun ia lakukan. Tapi itu

dengan catatan, kalau ia sedang benar-benar ingin

melakukannya. Kalau "angot" nya datang, wah, wah, wah.

Inilah yang ingin aku ceritakan. Dila kerap marah

berlebihan tanpa sebab yang jelas, sampai membanting

benda-benda didekatnya, menggulingkan badan dilantai

dan memaki dengan kata-kata kotor.

Memang aku pernah melakukan suatu kesalahan saat aku

kesal menghadapi ulahnya. Saking tak tertahannya

kesalku, aku membanting pintu dan itu dilihatnya.

Wajar saja kalau akhirnya Dila meniru perbuatanku itu.

Penuh rasa sesal saat itu, aku berjanji untuk tidak

melakukan hal itu kembali. Kuberikan penjelasan pada

Dila bahwa aku salah dan hal itu tak boleh ia lakukan.

Entah ia mengerti atau tidak.

Hari itu Dila bangun agak siang karena kebetulan hari

Minggu, pakaiannya basah kena ompol. Padahal ia tak

biasanya begitu. Segera saja kusuruhnya mandi. Tapi

Dila menolak, dengan alasan mau minum susu. "Boleh,

tapi setelah minum susu , kakak segera mandi ya karena

baju kakak basah kena ompol" Dila menyetujui

perjanjian itu. Tapi belum lagi lima menit setelah

habis susu segelas, ia berhambur keluar karena

didengarnya teman-temannya sedang main. Mandipun urung

dikerjakan. Aku masih mentolelir. Tapi tak lama

berselang "Kak Dila. mandi dulu," aku setengah

berteriak memanggilnya karena ia sudah berada diantara

kerumunan anak yang sedang main lompat tali. "Sebentar

lagi Bu. Kakak mau lihat Nisa dulu," begitu jawabnya.

Aku masih belum bereaksi. Kutinggal ia sebentar karena

Helmi merengek minta susu. Setelah membuatkan susu

untuknya, aku keluar rumah lagi. Kali ini menghampiri

Dila. "Waktumu sudah habis, sekarang kamu mandi",

bisikku pelan ditelinganya. Dila bereaksi menamparku

keras, "Nanti dulu!" aku tersentak, mendadak emosiku

membludak. Aku balas menampar Dila hingga meninggalkan

bekas merah di pipi kanannya. Tanpa berkata-kata lagi,

kuseret tangannya sekuat tenaga. Dila terus meronta.

Kakiku digigitnya. Aku dengan balas mencubit. Layaknya

sebuah pertarungan besar kami saling memukul dan

meninggikan suara. Setibanya dikamar mandi Dila

kuguyur berulang-ulang, kugosok badanya dengan keras,

kuberi sabun dan kuguyur lagi hingga ia tampak

gelagapan. Aku benar benar kalap. Selang beberapa

menit kemudian, kukurung Dila dikamar mandi dalam

keadaan masih tidak berpakaian. Ia menggedor-gedor

pintu minta dibukakan. Berulang kali ia memaki dan

mengatakan akan mengadukan kepada ayah.

Tak berapa lama kemudian suara Dila melemah, hanya

terdengar isak tangisnya. Aku membukakan pintu dengan

mengomel. "Makanya, kalau disuruh mandi jangan

menolak, Ibu sampe capek, dari tadi kamu menolak mandi

terus. Awas ya kalau seperti ini lagi. Ibu akan kunci

kamu lebih lama lagi. Paham!", entah ia mengerti atau

tidak. Dila hanya menangis meski tidak lagi meraung.

Setelah rapih berpakaian, menyisir rambut dan makan.

Dila seolah melupakan kejadian itu. Iapun asyik

kembali main dengan teman-temannya. Peristiwa itu

tidak hanya satu dua kali terjadi. Tidak hanya pada

saya ibunya tapi juga pada ayahnya. Tapi, cara suamiku

memperlakukan Dila sangat berbeda. Barangkali memang

dasarnya aku yang tidak sabar menghadapi anak rewel.

Tiap kali itu terjadi, cara itulah yang aku lakukan

untuk mengatasinya. Bahkan mungkin ada yang lebih

keras lagi dari itu.

Tapi apa yang dilakukan Dila pada saya, Subhanallah,

Dila tak pernah menceritakan perlakuanku terhadapnya

kepada siapapun. Seolah ia pendam sendiri dan tak

ingin diketahui orang lain. Akupun tak pernah

menceritakan kepada suami, khawatir kalau ia marah.

Padahal Dila itu anak kandungku, anak yang keluar dari

rahimku sendiri. Aku kadang membencinya, tidak

memperlakukan dia layaknya aku memperlakukan Helmi

adiknya. Dila anak yang cerdas. Selalu ceria, gemar

menghibur teman-temannya dengan membacakan mereka buku

yang tersedia dirumah. Bahkan teman-temannya merasa

kehilangan ketika Dila menginap di rumah neneknya

diluar kota, yang cuma dua malam.

Belaian lembut tangan suamiku menyadarkan aku. Kulepas

pelukanku perlahan. Tak sadar air mata menyelinap

keluar membasahi pipi. "Sudahlah, malam semakin larut.

Ayo kita tidur," ajaknya lembut. Aku berusaha

menenangkan gemuruh dibatinku. Astaghfirullah, aku

beristighfar berulang kali. "Aku mau tidur dekat Dila

ya?" pintaku. Lagi-lagi kearifan suamiku membuatku

semakin merasa bersalah. Kuhampiri Dila yang tampak

pulas memeluk guling

kesayangannya. Siswi kelas tiga SD itu begitu baik

hati. Aku malu menjadi ibunya yang kerap memukul,

berkata-kata dengan suara keras dan...oh Dila maafkan

Ibu.

Disisi Dila bidadari kecilku, aku bersujud di tengah

malam. " Ya Allah, melalui Dila, Engkau didik hambamu

ini untuk menjadi ibu yang baik. Aku bermohon ampunan

kepada-Mu atas apa yang telah kulakukan pada

keluargaku, pada Dila. Beri hamba kesempatan

memperbaiki kesalahan dan ingatkan hamba untuk tidak

mengulanginya lagi. Dila, maafkan Ibu nak, kamu banyak

memberi pelajaran buat Ibu."

Sebuah renungan untuk para ibu (termasuk saya

didalamnya). Semoga kita semakin menyayangi anak-anak

dan memperlakukan mereka dengan baik. Sebagaimana

diingatkan dalam sebuah hadits Nabi SAW agar manusia

menyayangi anak-anaknya. Ketika Aqra' bin Habis At

Tamimi mengatakan bahwa ia memiliki sepuluh anak tapi

tak pernah mencium salah seorang diantara mereka,

Rasululloh SAW bersabda "barangsiapa yang tidak

menyayangi maka dia tidak disayangi" (HR. Bukhari dan

Tirmizi)


referensi : cerpen islami


Ketika Anak ku bertanya "Bu siapa sich Marlyn Monroe ??!!"

Aisyah, anakku yang berusia 7 tahun mengalihkan pandangannya pada jadwal pertandingan sepakbola di sebuah Koran. Tapi tiba-tiba saja ia bertanya,

"Bu, siapa sih Marilyn Monroe itu?"

"Oooh... itu bintang film Amerika yang terkenal," jawabku sekenanya.Aku mengira jawaban itu sudah cukup untuk pertanyaan Aisyah.Tapi ternyata tidak. Ia melanjutkan jawabanku itu dengan pertanyaan lain yang membuatku cukup repot menjawabnya.

"Kalau bom seks itu maksudnya apa?" begitu tanya Aisyah.Terus terang aku terkejut dengan pertanyaan itu. Aku diam sejenak, lalu mengatakan,"Itu wanita yang memamerkan kecantikannya. Mereka mengira dengan begitu akan bisa terkenal, disanjung, dan mendapatkan uang dengan cepat," kataku hati-hati.

"Wahh... pasti para ratu kecantikan itu cantik sekali wajahnya ya Bu" katanya polos.

"Ya... katanya sih memang begitu," kataku apa adanya.Lagi-lagi kukira dialog kami akan selesai di sini,tapi ternyata tidak. Aisyah, putriku yang baru duduk di kelas 2 SD itu memang kritis. Ia pun melontarkan pertanyaan lagi yang menjadikanku lebih serius menanggapi pertanyaannya."Kok ibu bilangnya pakai "katanya', memangnya Marilyn Monroe sekarang sudah tua atau sudah tidak cantik lagi?"

"Bukan begitu, dia sekarang sudah meninggal... bunuh diri..." begitu jawabku. Kupikir aku memang harus bisa menjelaskan masalah ini dengan baik kepada putriku.

Setelah perkataanku itu, Aisyah meletakkan koran yang ada di tangannya dan mendekatiku sambil mengatakan, "Kenapa bu? Kan tadi ibu bilang ia orangnya cantik, kaya, terkenal. Kenapa dia bunuh diri?"

Aku mencoba menenangkan diri dan menjawab pertanyaannya perlahan. "Yah, ia memang cantik, terkenal dan kaya. Tapi itu semua sama sekali tidak membuatnya bahagia," kataku sambil menarik nafas. Kali ini aku sudah menduga kalau jawabanku itu akan memancing pertanyaannya lagi. Justru sekarang aku yang ingin agar dia kritis terhadap jawabanku tadi. Aku pun bersiap mendengarkan pertanyaan berikutnya."Bagaimana mungkin bu, orang cantik, terkenal, kaya, tapi tidak bahagia?" katanya. Pertanyaan itu yang memang kutunggu. Aku menjawab, "Ya, karena hatinya kelaparan dan mentalnya kering."

"Apa bu, hatinya kelaparan? Maksudnya bagaimana sih?" tanyanya makin penasaran. Aku terdiam sejenak, berfikir untuk bisa menjelaskan masalah ini dengan tepat.

"Puteriku, manusia itu seperti yang diajarkan oleh agama kita terdiri dari tubuh, pikiran dan hati. Agar seseorang bias hidup seimbang, bahagia, dan sehat, maka semuanya itu harus diberi makanan. Makanan tubuh kita itu adalah nasi, buah atau minuman. Pikiran kita makanannya adalah ilmu pengetahuan seperti yang engkau pelajari di sekolah. Sedangkan hati,makanannya adalah iman kepada Allah. Iman kepada adanya Allah, iman dengan takdir-Nya, kasih sayang-Nya,kekuasaan-Nya dan iman kepada hari akhirat. Sepanjang apapun seseorang hidup, pasti akhirnya akan kembali kepada Allah swt. Kita akan berhadapan dengan Allah dan mempertanggung

jawabkan segala perbuatan kita di hadapan Allah... Saat itu, balasan yang kita terima hanya satu dari dua, surga atau neraka. Dan Allah tak mungkin tidak adil terhadap hamba-Nya ..."

Anakku tampak serius sekali memperhatikan uraian tadi. Ia pun terdiam, sepertinya berpikir. "Apakah Marilyn Monroe tidak mengetahui hal itu sehingga ia bunuh diri?" katanya. "Tidak tahu juga ya. Tapi umumnya orang yang bunuh diri itu

adalah karena putus asa dan kekecewaan yang sangat berat. Putus asa seperti itu tidak dialami oleh seorang yang beriman. Dalam surat Yusuf Allah swt berfirman, "Tidaklah orang yang putus asa kepada rahmat Allah itu kecuali orang-orang yang kafir..." Meskipun ia mengalami kesulitan,penderitaan dan berbagai kesusahan, tapi orang beriman tetappercaya pada kasih sayang Allah swt. Ia bisa melakukan sholat, berdo'a, berdzikir, membaca al-Qur`an yang menjadikan hatinya terang dan jiwanya segar kembali. Karena itulah orang-orang beriman saja yang bisa hidup bahagia ...."


referensi : cerpen islam

Kisah Sepanjang Masa

Di stasiun kereta api bawah tanah Tokyo, aku merapatkan mantel wol tebalku erat-erat. Pukul 5 pagi. Musim dingin yang hebat. Udara terasa beku mengigit. Januari ini memang terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar salju masih turun dengan lebat sejak kemarin. Tokyo tahun ini terselimuti salju tebal, memutihkan segenap pemandangan.

Stasiun yang selalu ramai ini agak sepi karena hari masih pagi. Ada seorang kakek tua di ujung kursi, melenggut menahan kantuk. Aku melangkah perlahan ke arah mesin minuman. Sesaat setelah sekeping uang logam aku masukkan, sekaleng capucino hangat berpindah ke tanganku. Kopi itu sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak lama karena ketika tanganku menyentuh kartu pos di saku mantel, kembali aku berdebar.

Tiga hari yang lalu kartu pos ini tiba di apartemenku. Tidak banyak beritanya, hanya sebuah pesan singkat yang dikirim adikku, "Ibu sakit keras dan ingin sekali bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal, pulanglah meski sebentar, kakc". Aku mengeluh perlahan membuang sesal yang bertumpuk di dada. Kartu pos ini dikirim Asih setelah beberapa kali ia menelponku tapi aku tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga akhirnya hanya kartu ini yang dikirimnya. Ah, waktu seperti bergerak lamban, aku ingin segera tiba di rumah, tiba-tiba rinduku pada ibu tak tertahan. Tuhan, beri aku waktu, aku tak ingin menyesalc

Sebenarnya aku sendiri masih tak punya waktu untuk pulang. Kesibukanku bekerja di sebuah perusahaan swasta di kawasan Yokohama, ditambah lagi mengurus dua puteri remajaku, membuat aku seperti tenggelam dalam kesibukan di negeri sakura ini. Inipun aku pulang setelah kemarin menyelesaikan sedikit urusan pekerjaan di Tokyo. Lagi-lagi urusan pekerjaan.

Sudah hampir dua puluh tahun aku menetap di Jepang. Tepatnya sejak aku menikah dengan Emura, pria Jepang yang aku kenal di Yogyakarta, kota kelahiranku. Pada saat itu Emura sendiri memang sedang di Yogya dalam rangka urusan kerjanya. Setahun setelah perkenalan itu, kami menikah.

Masih tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi murung ketika aku mengungkapkan rencana pernikahan itu. Ibu meragukan kebahagiaanku kelak menikah dengan pria asing ini. Karena tentu saja begitu banyak perbedaan budaya yang ada diantara kami, dan tentu saja ibu sedih karena aku harus berpisah dengan keluarga untuk mengikuti Emura. Saat itu aku berkeras dan tak terlalu menggubris kekhawatiran ibu.

Pada akhirnya memang benar kata ibu, tidak mudah menjadi istri orang asing. Di awal pernikahan begitu banyak pengorbanan yang harus aku keluarkan dalam rangka adaptasi, demi keutuhan rumah tangga. Hampir saja biduk rumah tangga tak bisa kami pertahankan. Ketika semua hampir karam, Ibu banyak membantu kami dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami memang bisa sejalan. Emura juga pada dasarnya baik dan penyayang, tidak banyak tuntutan.

Namun ada satu kecemasan ibu yang tak terelakkan, perpisahan. Sejak menikah aku mengikuti Emura ke negaranya. Aku sendiri memang sangat kesepian diawal masa jauh dari keluarga, terutama ibu, tapi kesibukan mengurus rumah tangga mengalihkan perasaanku. Ketika anak-anak beranjak remaja, aku juga mulai bekerja untuk membunuh waktu.

Aku tersentak ketika mendengar pemberitahuan kereta Narita Expres yang aku tunggu akan segera tiba. Waktu seperti terus memburu, sementara dingin semakin membuatku menggigil. Sesaat setelah melompat ke dalam kereta aku bernafas lega. Udara hangat dalam kereta mencairkan sedikit kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di kereta ini dan hampir semua penumpang terlihat tidur. Setelah menemukan nomor kursi dan melonggarkan ikatan syal tebal yang melilit di leher, aku merebahkan tubuh yang penat dan berharap bisa tidur sejenak seperti mereka. Tapi ternyata tidak, kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali berputar dalam ingatanku.

Ibu..ya betapa kusadari kini sudah hampir empat tahun aku tak bertemu dengannya. Di tengah kesibukan, waktu terasa cepat sekali berputar. Terakhir ketika aku pulang menemani puteriku, Rikako dan Yuka, liburan musim panas. Hanya dua minggu di sana, itupun aku masih disibukkan dengan urusan kantor yang cabangnya ada di Jakarta. Selama ini aku pikir ibu cukup bahagia dengan uang kiriman ku yang teratur setiap bulan. Selama ini aku pikir materi cukup untuk menggantikan semuanya. Mendadak mataku terasa panas, ada perih yang menyesakkan dadaku. "Aku pulang bu, maafkan keteledoranku selama inic" bisikku perlahan.

Cahaya matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat seperti peluru ini masih terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang terentang. Aku menatap ke luar. Salju yang masih saja turun menghalangi pandanganku. Tumpukan salju memutihkan segenap penjuru. Tiba-tiba aku teringat Yuka puteri sulungku yang duduk di bangku SMA kelas dua. Bisa dikatakan ia tak berbeda dengan remaja lainnya di Jepang ini. Meski tak terjerumus sepenuhnya pada kehidupan bebas remaja kota besar, tapi Yuka sangat ekspresif dan semaunya. Tak jarang kami berbeda pendapat tentang banyak hal, tentang norma-norma pergaulan atau bagaimana sopan santun terhadap orang tua.

Aku sering protes kalau Yuka pergi lama dengan teman-temannya tanpa idzin padaku atau papanya. Karena aku dibuat menderita dan gelisah tak karuan dibuatnya. Terus terang kehidupan remaja Jepang yang kian bebas membuatku khawatir sekali. Tapi menurut Yuka hal itu biasa, pamit atau selalu lapor padaku dimana dia berada, menurutnya membuat ia stres saja. Ia ingin aku mempercayainya dan memberikan kebebasan padanya. Menurutnya ia akan menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Untuk menghindari pertengkaran semakin hebat, aku mengalah meski akhirnya sering memendam gelisah.

Riko juga begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik dengan urusan sekolah dan teman-temannya. Papanya tak banyak komentar. Dia sempat bilang mungkin itu karena kesalahanku juga yang kurang menyediakan waktu buat mereka karena kesibukan bekerja. Mereka jadi seperti tidak membutuhkan mamanya. Tapi aku berdalih justru aku bekerja karena sepi di rumah akibat anak-anak yang berangkat dewasa dan jarang di rumah. Dulupun aku bekerja ketika si bungsu Riko telah menamatkan SD nya. Namun memang dalam hati ku akui, aku kurang bisa membagi waktu antara kerja dan keluarga.

Melihat anak-anak yang cenderung semaunya, aku frustasi juga, tapi akhirnya aku alihkan dengan semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja. Aku jadi teringat masa remajaku. Betapa ku ingat kini, diantara ke lima anak ibu, hanya aku yang paling sering tidak mengikuti anjurannya. Aku menyesal. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana perasaan ibu ketika aku mengabaikan kata-katanya, tentu sama dengan sedih yang aku rasakan ketika Yuka jatau Riko juga sering mengabaikanku. Sekarang aku menyadari dan menyesali semuanya. Tentu sikap kedua puteri ku adalah peringatan yang Allah berikan atas keteledoranku dimasa lalu. Aku ingin mencium tangan ibu....

Di luar salju semakin tebal, semakin aku tak bisa melihat pemandangan, semua menjadi kabur tersaput butiran salju yang putih. Juga semakin kabur oleh rinai air mataku. Tergambar lagi dalam benakku, saat setiap sore ibu mengingatkan kami kalau tidak pergi mengaji ke surau. Ibu sendiri sangat taat beribadah. Melihat ibu khusu' tahajud di tengah malam atau berkali-kali mengkhatamkan alqur'an adalah pemandangan biasa buatku. Ah..teringat ibu semakin tak tahan aku menanggung rindu. Entah sudah berapa kali kutengok arloji dipergelangan tangan.

Akhirnya setelah menyelesaikan semua urusan boarding-pass di bandara Narita, aku harus bersabar lagi di pesawat. Tujuh jam perjalanan bukan waktu yang sebentar buat yang sedang memburu waktu seperti aku. Senyum ibu seperti terus mengikutiku. Syukurlah, Window-seat, no smoking area, membuat aku sedikit bernafas lega, paling tidak untuk menutupi kegelisahanku pada penumpang lain dan untuk berdzikir menghapus sesak yang memenuhi dada. Melayang-layang di atas samudera fasifik sambil berdzikir memohon ampunan-Nya membuat aku sedikit tenang. Gumpalan awan putih di luar seperti gumpalan-gumpalan rindu pada ibu.

Yogya belum banyak berubah. Semuanya masih seperti dulu ketika terakhir aku meninggalkannya. Kembali ke Yogya seperti kembali ke masa lalu. Kota ini memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu aku lalui, seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah membesarkanku, maka tak terbilang banyaknya kenangan didalamnya. Terutama kenangan-kenangan manis bersama ibu yang selalu mewarnai semua hari-hariku. Teringat itu, semakin tak sabar aku untuk bertemu ibu.

Rumah berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan waktu, rasanya masih seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara tanaman-tanaman itu, tentu karena selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada satu yang berubah, ibu...

Wajah ibu masih teduh dan bijak seperti dulu, meski usia telah senja tapi ibu tidak terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah tidak berdaya, tidak sesegar biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya, "Ibu...Rini datang, bu..", gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih tangan ibu perlahan dan mendekapnya didadaku. Ketika kucium tangannya, butiran air mataku membasahinya. Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu, senyum yang aku rindu itu, mengukir di wajahnya. Setelah itu entah berapa lama kami berpelukan melepas rindu. Ibu mengusap rambutku, pipinya basah oleh air mata. Dari matanya aku tahu ibu juga menyimpan derita yang sama, rindu pada anaknya yang telah sekian lama tidak berjumpa. "Maafkan Rini, Bu.." ucapku berkali-kali, betapa kini aku menyadari semua kekeliruanku selama ini.



referensi : cerpen islam


Salman Al Farisi dari kota "Amoy"

“Asyhadu Allah Ilahaillallah Waasyhadu Anna Muhammad Rasulullah.” Kalimat tauhid atau kalimat dua syahadat itu keluar dengan terbatah-batah dari lisan Salman Al farisi. Kalimat itu diulangnya dua kali.
“Aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah adalah utusan Allah,” Gumam Salman mengartikan. Lancar.
Selesai Salat Jumat, Salman duduk bersimpuh di atas sajadah di Masjid Agung Kota Singkawang. Ia menghadap ke barat. Kiblat. Sikapnya menjadi pusat perhatian puluhan jamaah.
Pengucapan kalimat sahadat itu dipandu Effendi M. Saat selaku ustadz. Hanafi dan Agus Arifin sebagai dua saksi. Di tempat itu juga, terdapat Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Singkawang Barat, Musmuthalib.
“Selain dua saksi yang ada, bapak yang ada di masjid ini juga sebagai saksi keislaman dari saudara kita,” kata Musmuthalib.
Sebelum masuk ke agama Islam, Musmuthalib mengatakan Salman harus menandatangani dua surat pernyataan. Pertama berisikan kesediaan keluar dari agama lama. Kedua berisikan pernyataan bersedia masuk ke agama baru.
Pada Salman Mutahlib menjelaskan perbedaan dan persamaan antara agama yang lama dan agama yang baru dipeluknya. Untuk kesamaannya, semua agama tidak ada yang mengajarkan kepada umatnya untuk berbuat kejahatan. Sementara perbedaannya terletak pada ibadah
“Ada salat lima waktu, puasa, dan lainnya,” kata Musmuthalib.
Bukan hanya ibadah, perbedaan antara Islam dengan agama lain terletak pada makanan. Umat Islam dilarang untuk memakan babi.
“Memelihara, menyentuh tidak diperbolehkan,”
Musmuthalib hanya menjelaskan secara garis besar. Salam kemudian diserahan pada Effendi. Sekitar lima menit dialog dilakukan. Effendi pun bertanya.
“Apakah anda betul-betul ingin masuk agama Islam?
“Apakah ada paksaan dari luar?
Salman menjawab.
“Saya sudah mempunyai tekad kuat!”
‘Tida ada yang memaksa!”
“Apakah anda bersedia mengucapkan kalimat sahadat?
“Bersedia.”
Cukup dengan dua pertanyaan. Effendi dan Salman duduk berhadapan.Effendi genggang tanan Salman. Seperti bersalaman. Ucapan sahadat yang keluar dari mulut Effendi pun ia ikutkan. Mulai hari itu, Salman resmi memeluk Islam.
Ritual lancar. Effendi menyanggulkan jubah dari Makkah nya kepundak Salam. Songkok hitam dipakaikan. Kitab suci quran pun dihadiahkan. Semua terharu. Peluk dan cium dari jamaah untuk Salman pun berlangsung.
***
Bong Jun That. Itulah nama asli Salman. Ia saya kenal di lantai atas Hotel Prapatan Kota Singkawang, sebelum salat Jumat. Ia tidak sendirian. Ia didampingi, Maksum, selaku pengurus Yayasan Chengho, Andry Lamfield dari PITI Kota Singkawang, dan Maya Satrini dari Forom Solsial. Saat saya datang mereka duduk satu meja.
Atas izin ke tiga orang itu, Salman dan Saya memilih memisah. Sekitar lima belas menit perbincangan kami lakukan.
Bhong Jun That, warga kelahiran Singkawang. Ia beretnis Tiong Hoa. Ia dibesarkan oleh keluarga Khonghocu. Dari kecil hingga berusia 46 tahun agama itu disandangnya. Kini Salman tinggal bersama mertuaya di Desa Sainam.
Salman mengatakan kenal agama Islam waktu bekerja sebagai kepala bagian di salah satu perusahaan tekstil di Semarang, tahun 1990-1992. di perusahaan itu ia banyak bergaul dengan warga Islam. Dari perkenalan itulah, terbesit dalam niatnya untuk pindah agama. Namun belum hidayah.
Diperkirakan tahun 2006, saat berada di Jakarta Bong Jun That bertemu dengan Maksum. Tentang agama Islam kembali dibicarakan. Niat Bong untuk pindah agama kembali menguat. Pertemuan Bong Jun Than dengan Maksum terus berlanjut hingga ke Singkawang. Dan dengan dorongan Maksum, Islam pun dipeluknya. Salman Al farisi, sebagai nama barupun disandangnya.
Sebelum masuk agama Islam, Salman sempat masuk dibeberapa agama. Diantaranya Budha dan Konghocu. Namun semua agama itu tidak membuat Salman tenang.
***
Salman mempunyai seorang istri dan enam orang anak. Salman mengatakan, semua orang dekatnya tersebut belum mengetahui tentang keislamannya.
“Mereka tidak akan mencegah,” kata Salman.
Walau demikian, Salman tidak yakin, keislamannya akan didukung oleh sang istri dan anak. Dengan kondisi seperti, semangat Salman tidak tergoyahkan. Ia bertekat untuk tidak meninggalkan agama Islam..
“Ini agama terakhir saya, saya tidak mungkin pindah agama.”
Bahkan Salman berdoa, mudah-mudahan istri dan anak-anak, suatu saat mengikuti jejaknya soal agama.
“Saya berharap mereka ikut jejak saya.” ujar Salman.
Begitu juga dengan para sahabat. Ada yang mengetahui dan tidak, atas niat Salman untuk masuk ke agama Islam. Diantara para sahabat yang mengetahui rencana Salman bersikap tidak percaya.
“Karena mereka tahu saya orang yang suka pindah agama.”
“Tapi yang lainnya mendukung saya.” ujar Salman.
***
Keislaman Salman disambut baik Ketua Perasutuan Iman Tauhid Indonesia (PITI) Kota Singkawang, H. Herman. Dengan mata berkaca-kaca, pria yang saya temui di masjid Agung Kota Singkawang tersebut berulang kali mengucapkan sukur.
Selanjutnya, Herman mengatakan, dibawah naungan PITI, Salman akan dibimbing untuk mengenal islam secara mendalam. Salman akan diajarkan bagaimana membaca Quran, menjalankan salat, dan berbagai ibadah lainnya.
Untuk memudahkan Salman berlajar, Herman mengatakan para pembimbing akan datang langsung ke rumahnya. Dan selanjutnya, Apabila Salman mulai paham dan mengerti, Maka Salman dipersilahkan untuk datang sendiri ke sektariat.
Dengan masuknya Salman, Herman mengatakat telah menambah jumlah warga Tiong Hoa Kota Singkawang yang masuk Islam. Berdasarkan data, jumlah keseluruhan warga Tiong Hoa Kota yang beragama Islam sekitar 400 orang
“Dan dia warga Tiong Hoa terbaru yang masuk Islam,” kata Herman.


referensi : Kumpulan Cerpen Islami

Bila Al Qur'an bisa bicara

Waktu engkau masih kanak-kanak, kau laksana kawan sejatiku
Dengan wudu’ aku kau sentuh dalam keadaan suci
Aku kau pegang, kau junjung dan kau pelajari
Aku engkau baca dengan suara lirih ataupun keras setiap hari
Setelah usai engkaupun selalu menciumku mesra

Sekarang engkau telah dewasa…
Nampaknya kau sudah tak berminat lagi padaku…
Apakah aku bacaan usang yang tinggal sejarah…
Menurutmu barangkali aku bacaan yang tidak menambah pengetahuanmu

Atau menurutmu aku hanya untuk anak kecil yang belajar mengaji saja?

Sekarang aku engkau simpan rapi sekali hingga kadang engkau lupa dimana menyimpannya

Aku sudah engkau anggap hanya sebagai perhiasan rumahmu
Kadangkala aku dijadikan mas kawin agar engkau dianggap bertaqwa

Atau aku kau buat penangkal untuk menakuti hantu dan syetan

Kini aku lebih banyak tersingkir, dibiarkan dalam kesendirian dalam kesepian

Di atas lemari, di dalam laci, aku engkau pendamkan.


Dulu…pagi-pagi…surah-surah yang ada padaku engkau baca beberapa halaman
Sore harinya aku kau baca beramai-ramai bersama temanmu di surau…..


Sekarang… pagi-pagi sambil minum kopi…engkau baca Koran pagi atau nonton berita TV
Waktu senggang..engkau sempatkan membaca buku karangan manusia

Sedangkan aku yang berisi ayat-ayat yang datang dari Allah Yang Maha Perkasa.
Engkau campakkan, engkau abaikan dan engkau lupakan…


Waktu berangkat kerjapun kadang engkau lupa baca pembuka surahku (Basmalah)
Diperjalanan engkau lebih asyik menikmati musik duniawi
Tidak ada kaset yang berisi ayat Alloh yang terdapat padaku di laci mobilmu
Sepanjang perjalanan radiomu selalu tertuju ke stasiun radio favoritmu
Aku tahu kalau itu bukan Stasiun Radio yang senantiasa melantunkan ayatku


Di meja kerjamu tidak ada aku untuk kau baca sebelum kau mulai kerja
Di Komputermu pun kau putar musik favoritmu
Jarang sekali engkau putar ayat-ayatku melantun
E-mail temanmu yang ada ayat-ayatkupun kadang kau abaikan
Engkau terlalu sibuk dengan urusan duniamu


Benarlah dugaanku bahwa engkau kini sudah benar-benar melupakanku
Bila malam tiba engkau tahan nongkrong berjam-jam di depan TV
Menonton pertandingan Liga Italia , musik atau Film dan Sinetron laga
Di depan komputer berjam-jam engkau betah duduk
Hanya sekedar membaca berita murahan dan gambar sampah


Waktupun cepat berlalu…aku menjadi semakin kusam dalam lemari
Mengumpul debu dilapisi abu dan mungkin dimakan kutu
Seingatku hanya awal Ramadhan engkau membacaku kembali
Itupun hanya beberapa lembar dariku
Dengan suara dan lafadz yang tidak semerdu dulu
Engkaupun kini terbata-bata dan kurang lancar lagi setiap membacaku.


Apakah Koran, TV, radio , komputer, dapat memberimu pertolongan ? Bila
engkau di kubur sendirian menunggu sampai kiamat tiba Engkau akan
diperiksa oleh para malaikat suruhanNya

Hanya dengan ayat-ayat Allah yang ada padaku engkau dapat selamat melaluinya.


Sekarang engkau begitu enteng membuang waktumu…
Setiap saat berlalu…kuranglah jatah umurmu…
Dan akhirnya kubur sentiasa menunggu kedatanganmu..
Engkau bisa kembali kepada Tuhanmu sewaktu-waktu
Apabila malaikat maut mengetuk pintu rumahmu.


Bila aku engkau baca selalu dan engkau hayati…
Di kuburmu nanti….
Aku akan datang sebagai pemuda gagah nan tampan
Yang akan membantu engkau membela diri
Bukan koran yang engkau baca yang akan membantumu Dari perjalanan di alam akhirat
Tapi Akulah “Qur’an” kitab sucimu
Yang senantiasa setia menemani dan melindungimu


Peganglah aku lagi . .. bacalah kembali aku setiap hari
Karena ayat-ayat yang ada padaku adalah ayat suci
Yang berasal dari Alloh, Tuhan Yang Maha Mengetahui

Yang disampaikan oleh Jibril kepada Muhammad Rasulullah.


Keluarkanlah segera aku dari lemari atau lacimu…
Jangan lupa bawa kaset yang ada ayatku dalam laci mobilmu
Letakkan aku selalu di depan meja kerjamu
Agar engkau senantiasa mengingat Tuhanmu


Sentuhilah aku kembali…
Baca dan pelajari lagi aku….
Setiap datangnya pagi dan sore hari
Seperti dulu….dulu sekali…
Waktu engkau masih kecil , lugu dan polos…
Di surau kecil kampungmu yang damai
Jangan aku engkau biarkan sendiri….
Dalam bisu dan sepi….
Mahabenar Allah, yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.


Kutunggu Kalian di Surga

Dua puluh lima tahun sudah usia pernikahanku. Alhamdulillah, aku telah dikaruniai empat orang anak, Firdaus (23 th), Nikmah Syahidah (20 th), Nurul Azizah (10 th), dan Akhmad Fikri (3 th). Kami merasa cukup dengan apa yang kami miliki, walaupun secara materi kehidupan keluarga kami sangatlah pas-pasan. Bahkan dengan penuh perhatian, istriku selalu membimbing dan mengingatkan anak-anakku untuk selalu bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya. Itulah yang membuat aku ikhlas untuk meninggalkan mereka demi untuk dakwah Islam. Aku tidak merasa gentar dengan semua cobaan yang menimpa mereka karena Allah-lah yang akan menjadi penolong dan pelindungnya.

“Bi, ada telpon ! “panggil Nikmah.

Panggilan Nikmah membuatku harus menghentikan pekerjaanku. Bergegas aku menuju ke telpon. Setelah kuterima telpon, aku menghampiri Nikmah yang sedang menyuapi Fikri. ” Nikmah, Ummi mana ?” tanyaku pada anak perempuanku yang selalu membantu Umminya merawat adik-adiknya.

“Di belakang Bi, sedang nyuci pakaian”, jawab Nikmah.

Benar, kudapati istriku sedang mencuci pakaian. Walaupun begitu, tak pemah kulihat istriku mengeluh ataupun marah karena kerjaan di rumah begitu banyak. Bahkan di depanku dan anak-anak selalu menampakkan wajah yang ceria, walaupun kondisi badannya sedang letih dan tidak enak badan. Ya..Allah, aku bersyukur kepada-Mu di masa yang sulit ini istriku masih tetap tabah dan sabar.

Memang, semenjak pimpinan di perusahaan tempat aku kerja mengetahui aku terlibat dengan gerakan yang ingin menerapkan hukum-hukum Allah dengan cara menegakkan Khilafah Islamiyyah–, pimpinanku langsung mem-PHK-ku. Apalagi, semenjak penguasa negeri ini bekerja sama dengan AS dan sekutu-sekutunya untuk menumpas habis para dai yang ingin memperjuangkan Islam. Semua lapangan pekerjaan menjadi tertutup. Banyak dari kalangan pejuang Islam yang kesulitan mencari nafkah untuk keluarganya. Bahkan anak-anak mereka pun tidak bisa sekolah, termasuk anak-anakku.

“Mi!” panggilku dengan lembut, seraya memegang tangannya. Sejenak aku merasakan betapa kasar tangan istriku, karena semua pekerjaan berat dia kerjakan sendiri. Berbeda pada waktu ketika kami baru menikah, kami masih sanggup mempekerjakan pembantu.

“Ummi capek?” tanyaku penuh perhatian.

“Nggak kok, Bi. Cuma kurang tidur aja, semalam Fikri nangis terus. Badannya panas.? Tapi, Alhamdulillah, sekarang Fikri sudah nggak apa-apa.” jawab istriku datar.

“Bener, Ummi nggak apa-apa?” tanyaku dengan nada tidak percaya.

“Duuh, Abi masak nggak percaya sih sama Ummi” ia meyakinkanku.

“lya deh percaya,” sahutku.

“Masak sih Abi nggak percaya sama Ummi. Ummi itu kan orangnya tegar, rajin, cantik, pinter, penyayang, pengertian, keibuan lagi.” godaku.

“Ah, Abi. Ummi jadi malu nih, dipuji gitu!” wajah istriku merah merona. Walaupun dalam kondisi yang sulit ini aku berusaha menghibur hati istriku. Karena semenjak situasi negeri ini berubah, istriku lebih banyak di rumah.

ooOoo

“Fikri, ayo mulutnya dibuka! Ak … ak … emm!” bujuk Nikmah kepada Fikri seraya menyuapi.

“Hayo … tinggal dua sendok lagi. Cepet dihabiskan, nanti keburu

dimakan mbak Nurul Iho.”

“Mbak, minta dong, Fik!” goda Nurul yang dari tadi sedang asik dengan buku Sirah Nabawinya.

“Tuh… kan, mbak Nurul minta! Ayo, buka lagi mulutnya.” seru Nikmah,

“ak … ak, iya pinter. Kalau makannya banyak nanti cepet besar, biar bisa nemenin

Abi.”

Terus terang aku merasa bangga dengan anak-anakku. Semua tumbuh dan berkembang dengan norrnal. Aku tidak mau membeda-bedakan kasih sayang di antara mereka. Aku ingin memberikan yang terbaik untuk mereka. Aku tidak hanya ingin anak-anakku mulia di mata manusia, namun lebih dari itu aku ingin mereka mulia di sisi Allah. Aku ingin mereka menjadi pengemban dakwah. Aku ingin mereka menjadi pejuang-pejuang Islam. Karena dengan Islamlah mereka akan mulia.

Alhamdulillah, keinginan seperti ini bukan hanya keinginanku, ternyata istriku juga bercita-cita demikian. Memang aku dan istriku berasal dari latar belakang yang sama, yaitu sama-sama aktivis dakwah. Maka wajarlah kalau keinginanku dan keinginan istriku sama. Dan aku pikir memang harus seperti itulah cita-cita kaum muslimin.

“Bi, … Abi kok bengong?” sapa istriku,

” Nih, Ummi bikinkan teh hangat. Di minum dulu Bi biar badan lebih enakan.”

Entah, setiap aku melihat wajah istriku, aku semakin sayang. Bahkan, seakan-akan semua masalah jadi hilang. Terlebih lagi, kalau aku memandang wajahnya hatiku menjadi tentram.

“Bi, Abi kok bengong lagi? Abi, mikirin apa? ” Tanya istriku dengan lembut.

“Nggak kok, Mi.” jawabku datar.

“Abi cuma mau ngomong sama Ummi, kalau sebenarnya Abi itu…….” sengaja aku tidak melanjutkan kata-kataku, supaya istriku penasaran.

“Sebenarnya apa Bi? tanya istriku penasaran. Aku pun tetap diam.

“Aah Abi…. Ummi jadi semakin penasaran nih,” kata istriku tidak sabar.

“lya deh, sebenarnya…. Abi itu…..” kembali aku tidak melanjutkan kata-kataku, supaya istriku bertambah penasaran.

“Tuh kan, Abi mulai lagi.” gerutu istriku dengan manja.

“lya deh, ini beneran.” Kataku membujuk. Sambil memandangi wajahnya kupegang tangannya, aku pun melanjutkan kata-kataku.

” Mi…, sebenamya Abi itu sangat sayang sama Ummi. Abi cinta sama Ummi.”

Kulihat wajah istriku merah merona seraya menundukkan wajahnya karena malu dan mungkin bahagia. Aku pikir untuk menunjukkan kasih sayang kepada istriku tidak cukup dengan perbuatan, tapi harus dengan kata-kata pula. Entah kenapa, yang pasti menurutku hal ini sangat penting untuk dilakukan para suami kepada istri mereka.

ooOo

“Nurul, Mas Daus sama Mbak Nikmah mana?” tanya istriku kepada Nurul. Memang seperti biasanya setelah sholat Isya’ berjamaah kami melanjutkan makan malam bersama. Disinilah, biasanya kami saling berbagi cerita, sekaligus aku jadikan untuk forum tausiyah bagi anak-anakku.

“Firdaus, bagaimana …. sudah sholat istikharah dan dipikir masak-masak rencanamu untuk mengkhitbah teman adikmu itu?” tanyaku membuka forum tausiyah.

“Sudah Bi.” jawab Firdaus.

“Daus sudah mantap dengan pilihan Daus. Lagi pula dia juga dakwahnya bagus.”

“Ya…, kalau memang itu pilihanmu dan kamu juga sudah mantap, Abi sama Ummi setuju saja.” Kataku kepada putraku yang sulung ini.

“Abi sama Ummi cuma bisa mengingatkan saja kalau orang berumah tangga itu tidak sama dengan ketika kita berjalan di jalan aspal yang mulus. Pasti akan ada saja cobaan dan godaan.”

“Daus, orang menikah itu tidak cukup hanya berbekal kemampuan biologis dan harta, namun yang harus diperhatikan pula adalah kesiapan ilmu dan mental untuk menghadapi segala sesuatu.” timpal istriku.

“Dan itu tidak hanya dari satu pihak namun harus berasal dari kedua belah pihak, suami dan istri.”

“Apalagi, di jaman dan situasi seperti sekarang kita harus sabar dan tabah,” ujar istriku melanjutkan nasehatnya.

“Daus, apa yang disampaikan oleh Ummi itu benar. Oleh karena itu ingat baik-baik pesan Ummi.” Ujarku menegaskan.

“Kalau begitu, besok kamis, kita datang ke orang tuanya.”

“Kalau begitu, biar dik Nikmah saja besok yang ngasih tahu ke Aisyah kalau kita mau ke sana.” pinta Daus ke adiknya.

ooOoo

“Mi, anak-anak sudah ngumpul di ruang tengah?” tanyaku pada istriku.

“Sudah Bi.”

Sesaat aku menjadi ragu. Karena aku tidak tega kalau anak-anakku sedih apalagi shock. Tapi Istriku meyakinkanku kalau mereka insya Allah siap menerima kenyataan ini. Dengan didampingi istriku aku pun keluar kamar untuk berbicara dengan arak-anakku, terutama Firdaus, Nikmah dan Nurul.

“Kalian tahu kenapa Abi mengumpulkan kalian sekarang?” tanyaku kepada anak-anak.

“Tidak Bi.” Jawab mereka hampir bersamaan.

“Sebetulnya ada berita yang ingin Abi sampaikan kepada kalian.” tegasku.

“Kita semua tahu, kalau kita ini hidup untuk beribadah kepada Allah Swt.” ujarku berusaha menjelaskan kepada mereka.

“Nurul sudah pemah dikasih tahu sama Ummi?” tanyaku kepada Nurul.

“Sudah Bi.” Jawab Nurul sambil menganggukkan kepalanya.

“Dan makna kebahagiaan bagi kita sebagai seorang muslim yang sebenamya bukanlah dengan mendapatkan harta yang banyak, bukan pula dengan mendapatkan wanita yang cantik atau pria yang tampan, bukan pula dengan mendapatkan jabatan dan kekuasaan, dan juga bukan mendapatkan popularitas,” aku melanjutkan penjelasan.

“Kebahagiaan bagi kita yang sebenarnya adalah apabila kita dizinkan oleh Allah masuk ke surga-Nya”.ucapku sainbil memperhatikan wajah anak-anak.

“Dan untuk bisa masuk ke dalam surga haruslah mendapat keridhoan dari Allah. Dan keridhoan Allah hanya bisa kita dapatkan kalau kita mau menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.”

“Dakwah adalah salah satu aktivitas yang diwajibkan oleh Allah kepada seluruh kaum muslimin. Tidak terkecuali Abi”. Begitulah aku berbicara panjang lebar berusaha untuk memberitahu hal yang sebenarnya. Sesekali aku melihat wajah Nurul yang tampak serius dan tegang. Mungkin karena dia belum begitu mengenal dunia dakwah yang sebenamya. Nurul menjadi agak tegang. Ini berbeda dengan kedua kakaknya yang sudah mengenal betul dunia ini..

“Abi yakin kalian sudah paham mengenai perkara ini. Dan itulah aktivitas Abi yang sebenarnya. Abi tahu benar risiko yang akan dihadapi, tapi tak sedikitpun Abi takut,” ujarku meyakinkan mereka.

Semakin lama aku menjelaskan seakan-akan mulut ini semakin berat untuk mengucapkan. Dan hatiku merasa tidak tega menyampaikan berita ini kepada anak-anak. Tapi bagaimana pun juga, mereka harus tahu.

“Daus … Nikmah …. dan Nurul … dua hari yang lalu teman Abi ditangkap oleh aparat kepolisian ketika usai sholat shubuh di masjid Al-Hasanah. Bukan hanya dia, Ustad Is dan Abu Raihan juga ditangkap,” aku berusaha menjelaskan.

“Mereka ditangkap karena aktivitas dakwah yang mereka lakukan.” Sambil menarik nafas dalam-dalam aku melanjutkan kembali penjelasanku.

“Sekarang ini, teman-teman Abi dan juga Abi sedang di mata-matai oleh Intelijen.”

Kulihat mata Nikmah mulai merah seakan-akan menahan air matanya. Tapi aku tetap melanjutkan kata-kataku.

“Oleh karena itu, untuk sementara Abi tidak bisa tinggal bersama kalian. Abi harus berpindah-pindah tempat untuk menghindari intaian intelijen. Segala urusan dan keperluan sehari-hari kalian akan dibantu oleh paman Ali.”

Aku melihat air mata Nikmah dan Nurul mulai membasahi pipinya. Kuhapus air mata mereka satu persatu seraya mendekap mereka. Kudekati Anakku Firdaus, kupeluk ia erat-erat.? Tak terasa air mataku pun berlinang.

Keesokan harinya setelah sholat shubuh berjamaah, aku masuk ke kamar menemui istriku yang sedang menyiapkan pakaian yang akan kubawa. Kulihat air matanya membasahi pipinya.

“Mi.., Ummi jangan menangis. Ummi harus ikhlas mengahadapi semua ini.” Aku berusaha menegarkan hati istriku.

“Abi minta maaf kalau selama ini Abi mengecewakan Ummi. Abi minta maaf kalau Abi tidak bisa memberikan apa-apa untuk Ummi. Abi juga minta maaf kalau selmna ini Abi belum bisa membahagiakan Ummi dan anak-anak” ucapku.

Tak terasa dadaku basah oleh air mata istriku. Aku bisa merasakan betapa sedih hatinya.? Belum pemah aku melihat istriku menangis seperti ini.

“Menangislah Mi……. menangislah! Keluarkan semua air mata Ummi, biar hati Ummi menjadi lega.”

Setelah istriku selesai menangis, kudekap istriku seraya membisikkan, “Kalau Ummi masih ingin menangis, menangislah. Tapi Abi berpesan, setelah Abi pergi Ummi jangan pernah menangis. Ummi harus tegar menghadapi semua ini.” Kulepaskan dekapanku perlahan-lahan lalu kugandeng tangannya kuajak keluar dari kamar untuk berpamitan dengan anak-anakku.

Kulihat diruang tengah, anak-anak sudah menungguku.

“Nurul…., Nurul harus jadi anak yang baik ya. Bantu Ummi sama Mbak Nikmah. Jadilah Nurul seperti Fatimah binti Muhammad saw.,” ucapku lembut. Kucium pipi Nurul yang basah oleh air matanya. Kudekap erat tubuh mungil Nurul dan dia pun membalas pelukanku. Dalam hati aku bersyukur kepada Allah kalau aku sudah diberi istri yang shalehah dan anak-anak yang shaleh dan shalehah pula.

Kulepaskan pelukanku perlahan-lahan dari tubuh Nurul. Aku berdiri mendekati Nikmah yang dari tadi menangis sambil memeluk Umminya. Kupandangi Istriku yang dari tadi berusaha menenangkan Nikmah.

“Nikmah…, ayo lihat ke Abi” kata istriku dengan lembut sambil menghadapkan wajah Nikmah kepadaku.

Kulihat mata putriku yang pertama ini sembab dan berwama merah. Kudekap ia erat-erat sambil berkata,” jangan menangis. Setiap perjumpaan pasti akan ada perpisahan. Nikmah harus ikhlas menghadapi semuanya. Serahkan semua ini pada Allah”

Kulepaskan dekapan Nikmah perlahan-lahan, sambil kuseka air mata di pipinya. Perlahan-lahan kudekati anakku yang paling sulung. Berbeda dengan adik-adiknya, kulihat Firdaus lebih tegar menghadapi kenyataan ini. Kudekap juga anakku yang sulung ini.

“Jangan kecewakan Abi. Kamu harus menjadi pembela Islam. Kamulah satu-satunya harapan Abi saat ini. Jaga adik-adikmu dan Ummi,” tegasku.

“Kamu harus tegar dan sabar.” Kukecup keningnya sebagai tanda perpisahan.

Sebelum pergi, kuhampiri Istriku. Kukecup keningnya dan berpesan, “Jaga baik-baik anak-anak kita. Jadikan mereka seperti para sahabat Rasulullah. Jadikan mereka sebagai pembela dan pejuang-pejuang Islam.”

Kubuka pintu rumah perlahan-lahan, sambil memandangi mereka kuucapkan salam. Semakin jauh langkahku meninggalkan mereka, semakin yakin pula kalau kami akan bertemu lagi. Wahai Istriku dan anak-anakku, kalaupun di dunia kita tidak bisa bertemu lagi, kutunggu kalian di surga.[]


referensi : Kumpulan Cerpen Islami

Template by : auraipank.blogspot.com